
BENGKULU, Caribengkulu.com - Krisis BBM Bengkulu mencapai eskalasi tertinggi setelah DPR RI Komisi VI menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) khusus dengan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) pada Kamis (22/5/2025). Ini merupakan kali pertama dalam sejarah masalah BBM daerah diangkat langsung ke forum parlemen nasional.
Anggota Komisi VI DPR RI, Firnando H Ganinduto, secara resmi menyampaikan aspirasi HPMPI terkait keterlambatan distribusi BBM di Bengkulu kepada jajaran direksi Pertamina dalam forum yang disiarkan langsung tersebut.
"Kami berharap adanya tindak lanjut atas keterlambatan suplai BBM di Bengkulu, khususnya Pertamax untuk Pertashop. Semoga setelah RDP ini bisa segera ditangani," ujar Ketua Umum DPP HPMPI, Steven, yang telah melakukan lobi intensif dengan beberapa anggota DPR RI Komisi V dan VI.
Keputusan DPR untuk mengangkat masalah BBM Bengkulu ke tingkat nasional tidak terlepas dari kompleksitas permasalahan yang sudah berlangsung hampir dua bulan. Berbeda dengan krisis BBM sebelumnya yang bersifat temporer, kali ini dampaknya sangat masif hingga melumpuhkan ekonomi kerakyatan.
Dalam RDP tersebut, terungkap bahwa masalah utama bukan hanya pendangkalan Pelabuhan Pulau Baai, namun juga ketidaksiapan sistem distribusi alternatif Pertamina. Direktur Utama Pertamina mengakui adanya gangguan operasional di jalur distribusi kereta api dari Palembang ke Lubuk Linggau yang menjadi sumber pasokan utama BBM Bengkulu.
Steven, yang hadir dalam RDP tersebut, menyampaikan data mengejutkan bahwa distribusi BBM ke Bengkulu mengalami penurunan drastis hingga 82%. "Kondisi pendangkalan ini sangat berdampak pada operasional kapal, termasuk kapal pengangkut BBM Pertamina yang tidak bisa bersandar. Ini sudah berlangsung hampir dua bulan," tegasnya.
Yang menarik, dalam RDP tersebut juga disinggung masalah disparitas distribusi BBM antar provinsi. Mengapa provinsi tetangga seperti Lampung dan Sumatera Selatan tidak mengalami kelangkaan serupa, sementara Bengkulu berulang kali menghadapi krisis BBM?
Anggota DPR mempertanyakan sistem kuota BBM yang diterapkan Pertamina untuk daerah-daerah tertentu. Diduga ada ketimpangan dalam penentuan kuota yang tidak sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat, terutama di provinsi-provinsi yang secara geografis sulit dijangkau.
"Dirut Pelindo juga telah dihubungi langsung oleh anggota DPR, dan dijanjikan kapal keruk akan tiba pada minggu ketiga Mei 2025 untuk mulai normalisasi alur pelabuhan," ujar Steven.
Intervensi DPR ini mendapat respons positif dari Gubernur Bengkulu Helmi Hasan. Ia menyambut baik keterlibatan parlemen nasional dalam menyelesaikan masalah yang sudah memakan korban ratusan ribu masyarakat Bengkulu.
"Kami sangat mengapresiasi perhatian DPR RI. Masalah BBM Bengkulu memang butuh perhatian serius dari pusat karena berdampak pada hajat hidup orang banyak," ungkap Helmi.
Sebagai tindak lanjut RDP, Pemerintah Provinsi Bengkulu diminta untuk membuat laporan komprehensif tentang pola konsumsi BBM, proyeksi kebutuhan, dan evaluasi sistem distribusi yang selama ini diterapkan. Data ini akan menjadi bahan evaluasi kebijakan energi nasional ke depan.
Wakil Sekretaris Jenderal PB HMI, Maulana Taslam, menilai intervensi DPR sebagai langkah yang terlambat namun tepat. "Seharusnya pemerintah daerah sejak awal proaktif mengangkat masalah ini ke pusat, tidak menunggu sampai situasi chaos seperti sekarang," kritiknya.
RDP ini juga menghasilkan komitmen dari Pertamina untuk menambah armada mobil tangki dan mempercepat perbaikan sistem distribusi. Direktur Utama Pertamina berjanji akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem logistik BBM untuk daerah-daerah terpencil.
Namun, masyarakat Bengkulu masih menunggu implementasi konkret dari hasil RDP tersebut. Hingga kini, antrean panjang di SPBU masih menjadi pemandangan sehari-hari, sementara harga BBM eceran terus melonjak.
"Yang kami butuhkan bukan janji lagi, tapi aksi nyata. Rakyat sudah terlalu lama menderita," tegas Faris Alatas dari HMI Cabang Bengkulu.
Intervensi DPR RI dalam krisis BBM Bengkulu menandai babak baru dalam penanganan masalah energi daerah. Ini juga menjadi preseden penting bahwa masalah kebutuhan pokok masyarakat tidak boleh diabaikan, meskipun terjadi di daerah yang secara politik kurang berpengaruh.
0 Comments