BENGKULU, Caribengkulu.com– Tersembunyi di balik rimbunnya vegetasi liar dan terhimpit oleh geliat pembangunan modern, sisa-sisa Benteng York di Bengkulu kini nyaris lenyap dari pandangan publik. Namanya pun tenggelam di bawah bayang-bayang kemegahan Benteng Marlborough yang kokoh dan ikonik. Namun, laporan ini berargumen bahwa Benteng York, benteng pertahanan pertama yang didirikan Inggris di Bengkulu, adalah sebuah situs dengan signifikansi historis yang krusial. Kisahnya bukan sekadar narasi kegagalan, melainkan sebuah babak fondasional dalam proyek kolonial Inggris di Sumatra. Kesalahan perhitungan strategis yang menyebabkan kehancurannya secara langsung menjadi pelajaran yang membentuk kehadiran Inggris di kawasan tersebut selama satu setengah abad berikutnya.
Paradoks sentral muncul ketika menyadari bahwa situs ini, meskipun kini merupakan reruntuhan yang terabaikan dan bahkan sebagian areanya telah menjadi lokasi sebuah sekolah dasar, telah ditetapkan sebagai Situs Cagar Budaya Peringkat Kota oleh Walikota Bengkulu pada tahun 2020. Kontras antara pengakuan yuridis dan pengabaian fisik ini menyoroti jurang pemisah antara kepentingan sejarah dan pengakuan kontemporer. Untuk merekonstruksi sejarah benteng yang terfragmentasi ini, berita ini menyintesiskan informasi dari berbagai sumber, termasuk dokumen era kolonial, laporan penelitian arkeologi modern, artikel berita, serta jurnal akademik, untuk menyusun narasi yang koheren tentang pendahulu Benteng Marlborough yang terlupakan ini.
Genesis Ambisi Kolonial Inggris: Pendirian Benteng York (sekitar 1685–1701)
Pendirian Benteng York oleh English East India Company (EIC) pada akhir abad ke-17 bukanlah sebuah tindakan yang terjadi dalam ruang hampa. Ia adalah puncak dari kalkulasi strategis yang didorong oleh persaingan dagang global. Motivasi utama EIC adalah untuk mendapatkan akses langsung ke perdagangan lada dan rempah-rempah yang sangat menguntungkan di pesisir barat Sumatra, sebuah wilayah yang sebelumnya belum sepenuhnya didominasi oleh pesaing utama mereka, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Perusahaan Hindia Timur Belanda. Dengan mendirikan pangkalan di Bengkulu, yang saat itu disebut Bencoolen, Inggris berharap dapat mematahkan monopoli Belanda dan mengamankan jalur pasokan komoditas yang sangat diminati di pasar Eropa.
Keberhasilan Inggris untuk menancapkan kukunya di Bengkulu sangat difasilitasi oleh dinamika politik lokal. Berbeda dengan pendekatan militeristik yang sering kali digunakan, EIC memilih jalur diplomasi. Mereka berhasil mendapatkan izin dari penguasa lokal, yaitu Raja Selebar, untuk membangun sebuah kantor dagang dan benteng pertahanan. Hubungan ini diresmikan melalui sebuah perjanjian yang dikenal sebagai "Traktat York," di mana pihak Inggris diwakili oleh Ralph Ord. Perjanjian ini menjadi kunci yang memungkinkan kehadiran Inggris. Aliansi dengan kerajaan lokal memberikan legitimasi dan keamanan awal yang sangat dibutuhkan oleh EIC untuk memulai operasinya. Dengan demikian, pendirian Benteng York adalah hasil dari perpaduan antara ambisi ekonomi global dan kelihaian politik regional.
Mengenai linimasa pendirian, terdapat beberapa inkonsistensi dalam catatan sejarah. Tahun 1685 paling sering disebut sebagai tahun kedatangan pertama Inggris di bawah pimpinan Ralph Ord dan dimulainya pembangunan benteng. Situs ini juga tercatat mulai dihuni sejak tahun tersebut. Oleh karena itu, 1685 paling masuk akal dianggap sebagai titik awal kehadiran EIC dan dimulainya konstruksi awal di Bengkulu. Beberapa sumber menyebutkan tahun 1701 sebagai tanggal selesainya pembangunan benteng di bawah administrasi Kapten J. Andrew, atau sebagai tahun pembangunan. Kemungkinan besar, 1701 menandai peresmian atau penyelesaian struktur utama benteng setelah proses konstruksi yang memakan waktu lama. Adapun tanggal "Sekitar 1618" yang muncul di beberapa laporan berita merupakan anomali signifikan dan kemungkinan besar kesalahan jurnalistik, karena tidak ada bukti kuat kehadiran Inggris berkelanjutan di Bengkulu pada awal abad ke-17.
Sejak awal, Benteng York dirancang untuk menjadi lebih dari sekadar pos pertahanan militer. Ia dikonsepkan sebagai sebuah markas kolonial yang komprehensif dan terintegrasi, yang melayani berbagai fungsi vital bagi operasi EIC di Sumatra. Sebagai fungsi utamanya, benteng ini dibangun sebagai pusat keamanan dan pengendalian kolonialisme Inggris di Bengkulu, dilengkapi dengan empat bastion untuk pengintaian dan penempatan artileri, serta barak-barak untuk menampung serdadu Inggris. Di samping itu, benteng ini berfungsi sebagai kantor dagang utama EIC, yang secara resmi dinamai "The Honourable East India Company's Garrison on the West Coast of Sumatra", lengkap dengan gudang-gudang besar untuk menampung rempah-rempah, terutama lada. Selain fungsi militer dan dagang, Benteng York juga merupakan pusat administrasi dan permukiman bagi para pejabat, pegawai, dan personel EIC beserta keluarga mereka. Fungsi ganda ini menunjukkan bahwa pendirian Benteng York bukanlah sekadar pembangunan sebuah fasilitas militer, melainkan sebuah manuver geopolitik yang kompleks. Ketergantungan pada aliansi dengan penguasa lokal, sebagaimana terbukti dalam Traktat York, menunjukkan bahwa pijakan awal Inggris dicapai melalui diplomasi dan kesepakatan, bukan semata-mata melalui kekuatan militer. Hal ini menyiratkan bahwa hubungan awal antara Inggris dan Kerajaan Selebar bersifat saling bergantung, di mana EIC kemungkinan menawarkan keuntungan ekonomi atau perlindungan sebagai imbalan atas hak untuk mendirikan pangkalan. Nuansa ini penting karena ia memperumit narasi sederhana tentang "penjajah versus terjajah" pada tahap paling awal kehadiran Inggris di Bengkulu.
Bastion Nahas: Kesalahan Strategis dan Kehancuran Akibat Lingkungan (sekitar 1701–1714)
Masa kejayaan Benteng York berlangsung sangat singkat. Dalam kurun waktu kurang dari lima belas tahun setelah peresmiannya, benteng ini sudah berada di ambang kehancuran. Kegagalannya bukanlah akibat serangan musuh, melainkan karena kombinasi fatal dari kesalahan pemilihan lokasi dan kondisi lingkungan yang ganas.
Penyebab utama kegagalan Benteng York adalah lokasinya yang sangat tidak strategis. Meskipun dibangun di atas sebuah bukit kecil untuk memberikan sedikit ketinggian, benteng ini secara krusial terletak di tepi Sungai Serut (sekarang Sungai Bengkulu) dan dikelilingi oleh rawa-rawa serta hutan bakau yang luas. Lokasi ini, yang pada awalnya mungkin dianggap ideal karena memberikan akses mudah ke jalur transportasi sungai untuk perdagangan, ternyata menjadi sebuah kesalahan fatal. Tanah di sekitar benteng terbukti tidak stabil dan terus-menerus terkikis oleh aliran air sungai. Erosi ini tidak hanya mengancam integritas struktural bangunan benteng tetapi juga menyebabkan biaya pemeliharaan yang sangat tinggi dan tidak berkelanjutan, menguras sumber daya EIC.
Lebih mematikan daripada ancaman struktural adalah kondisi lingkungan yang tidak sehat. Rawa-rawa yang mengelilingi benteng menjadi sarang ideal bagi nyamuk dan patogen lainnya. Akibatnya, lingkungan yang lembab dan kotor ini memicu wabah penyakit yang mengerikan di kalangan penghuni benteng. Epidemik malaria, disentri, dan kolera menyebar dengan cepat dan menjadi penyebab kematian utama. Tingkat kematian di Benteng York sangat tinggi, dengan laporan yang menyebutkan bahwa ratusan tentara Inggris meninggal dunia akibat wabah ini. Bukti nyata dari lingkungan yang mematikan ini dapat dilihat hingga hari ini, meskipun tidak lagi berada di lokasi aslinya. Batu nisan dari era ini, seperti milik Deputi Gubernur Richard Watts Esquire (meninggal 1705) dan Mr. Thomas Shaw (meninggal 1704), kini dipajang sebagai artefak sejarah di Benteng Marlborough, menjadi pengingat bisu akan harga mahal yang harus dibayar Inggris atas kesalahan pemilihan lokasi Benteng York.
Pada tahun 1710, kondisi fisik benteng mulai memburuk secara signifikan. Empat tahun kemudian, pada 1714, situasinya digambarkan sebagai "kritis." Bangunan benteng dan barak-barak menjadi semakin rapuh, sementara air hujan terus-menerus membasahi dan membanjiri ruang-ruang tempat tinggal, menciptakan kondisi yang tidak layak huni. Pada tahun 1712, Joseph Collet, pemimpin baru garnisun EIC di Bengkulu, tiba dan segera menyimpulkan bahwa Benteng York tidak dapat lagi diselamatkan. Ia menilai bahwa benteng tersebut membutuhkan perbaikan besar-besaran yang tidak sepadan dengan hasilnya dan, yang lebih penting, lokasinya secara fundamental memang tidak tepat. Berdasarkan penilaian ini, Collet menulis surat kepada Dewan Direksi EIC di London, mengusulkan untuk membongkar Benteng York dan membangun sebuah benteng baru yang jauh lebih kuat di lokasi yang lebih strategis, yaitu di sebuah bukit karang di dekatnya yang dikenal sebagai Ujung Karang. Usulan Collet disetujui, dan nasib Benteng York pun sinis. Pembangunan benteng baru, yang kelak diberi nama Benteng Marlborough, dimulai pada tahun 1714. Benteng York secara efektif ditinggalkan dan akhirnya runtuh menjadi puing-puing sekitar tahun 1715. Kehancuran Benteng York menjadi sebuah studi kasus yang kuat tentang benturan antara ambisi kolonial dengan realitas lingkungan. Ironisnya, faktor yang membuat lokasi tersebut tampak menarik (sungai) justru menjadi sumber dari dua ancaman eksistensialnya: penyakit dan ketidakstabilan struktural. Kegagalan York adalah pelajaran mahal tentang determinisme lingkungan, yang dibayar dengan nyawa dan modal Inggris.
Menggali Masa Lalu yang Terkubur: Bukti Arkeologis Benteng York
Meskipun struktur atasnya telah lama musnah, jejak Benteng York tidak sepenuhnya hilang. Di bawah permukaan tanah, tersembunyi bukti-bukti arkeologis yang memberikan gambaran sekilas tentang kehidupan di dalam dan di sekitar benteng selama masa operasinya yang singkat.
Saat ini, sisa-sisa fisik Benteng York sangat minim dan sebagian besar terkubur. Yang tersisa di permukaan hanyalah beberapa fragmen dinding yang terbuat dari bata dan lepa (mortar), yang kondisinya sudah sangat rapuh, tidak lagi utuh, dan tertutup oleh vegetasi lebat. Situs ini terhimpit oleh pembangunan modern, yang membuat upaya pelestarian dan penelitian menjadi lebih sulit. Ukuran pasti dari kompleks benteng asli sulit ditentukan karena sebagian besar areanya telah tertutup oleh bangunan-bangunan baru, termasuk kompleks Sekolah Dasar Negeri 57 Kota Bengkulu yang berdiri tepat di atas sebagian situs bersejarah tersebut.
Sejumlah penelitian arkeologi telah dilakukan di situs Benteng York, terutama oleh tim dari Pusat Arkeologi Nasional (Arkenas) dan Balai Arkeologi Palembang. Penggalian ini berhasil mengungkap berbagai temuan penting yang membantu merekonstruksi sejarah situs tersebut. Ekskavasi telah berhasil mengidentifikasi sisa-sisa fondasi benteng. Di sisi timur, para arkeolog menemukan bekas-bekas sebuah bastion, yang merupakan salah satu elemen pertahanan utama benteng. Dinding-dindingnya dipastikan terbuat dari material bata yang direkatkan dengan lepa.
Temuan yang paling signifikan adalah artefak-artefak bergerak, yang melukiskan gambaran yang lebih hidup tentang aktivitas di benteng. Ditemukan beragam jenis keramik, menunjukkan jaringan perdagangan yang luas, termasuk pecahan keramik dari Tiongkok (abad ke-17 hingga ke-19), keramik Eropa (khususnya buatan Gouda Delft dari Belanda), dan gerabah lokal yang memiliki kesamaan dengan temuan di Banten. Penemuan koin dari berbagai negara menjadi bukti kuat aktivitas komersial, dengan koin-koin dari EIC (Inggris), VOC (Belanda), dan Tiongkok. Fragmen-fragmen guci dan perkakas dari logam juga ditemukan di lokasi penggalian. Sebagian besar artefak penting ini kini dikonservasi dan menjadi bagian dari koleksi di Museum Negeri Bengkulu, sementara beberapa sampel lainnya dibawa ke Jakarta.
Catatan arkeologis ini berfungsi sebagai arsip sejati dari benteng yang telah lenyap. Sementara struktur fisiknya telah menjadi "hantu," artefak-artefak yang terkubur di bawahnya memberikan bukti nyata tentang perannya yang lebih kompleks daripada sekadar pos militer yang gagal. Keberagaman artefak menunjukkan bahwa area di sekitar muara Sungai Bengkulu telah menjadi pusat kegiatan ekonomi dan perdagangan bahkan sebelum benteng itu berdiri. Campuran koin EIC, VOC, dan Tiongkok, bersama dengan keramik dari Eropa dan Asia, secara meyakinkan menunjukkan bahwa Benteng York, meskipun usianya singkat dan penuh masalah, merupakan sebuah simpul aktif dalam jaringan perdagangan regional dan global yang kompleks. Penemuan koin VOC di dalam situs benteng Inggris sangatlah menarik. Ini menyiratkan bahwa mata uang Belanda tetap beredar bahkan di dalam pusat kekuasaan Inggris, menyoroti sifat perdagangan Eropa di Nusantara yang saling tumpang tindih, kompetitif, namun juga saling terhubung. Kehadiran gerabah lokal di samping barang-barang impor juga mengindikasikan adanya interaksi, baik dalam bentuk perdagangan maupun pertukaran budaya, antara penghuni benteng Inggris dan masyarakat lokal Bengkulu. Dengan demikian, tanah di bawah reruntuhan Benteng York menceritakan kisah globalisasi yang lebih kompleks daripada yang bisa diceritakan oleh sisa-sisa dindingnya yang rapuh.
Bayang-Bayang yang Tersisa: Warisan Benteng York dan Kebangkitan Benteng Marlborough
Warisan terpenting dari Benteng York bukanlah reruntuhan fisiknya, melainkan pelajaran mahal yang dipetik dari kegagalannya. Kehancuran benteng pertama ini secara langsung melahirkan penerusnya yang jauh lebih superior, Benteng Marlborough, yang pada akhirnya menjadi simbol abadi kekuasaan Inggris di Bengkulu.
Pembangunan Benteng Marlborough, yang dimulai pada tahun 1714, merupakan sebuah respons yang terencana dan disengaja untuk memperbaiki setiap kesalahan yang telah dibuat di Benteng York. Proses pengambilan keputusan yang dipimpin oleh Joseph Collet menunjukkan adanya kurva pembelajaran yang jelas di pihak EIC. Perbedaan paling fundamental adalah pemilihan lokasi. Benteng Marlborough dibangun di atas tanah tinggi Ujung Karang, sebuah "bukit karang" yang kokoh. Lokasi ini tidak hanya memberikan posisi pertahanan yang dominan dengan pemandangan luas ke arah kota dan Samudra Hindia, tetapi yang terpenting, menempatkannya jauh dari dataran rendah yang berawa dan sarang penyakit yang telah menghancurkan Benteng York. Dirancang untuk menjadi benteng Inggris terbesar di Asia Tenggara, Marlborough dibangun dengan skala yang jauh lebih masif dan menggunakan material yang lebih tahan lama. Batu karang dan bata berkualitas tinggi digunakan untuk membangun tembok-tembok kokoh yang dirancang untuk bertahan selama berabad-abad, kontras dengan struktur bata dan lepa Benteng York yang rapuh. Suksesi langsung ini adalah bagian terpenting dari warisan Benteng York. Kegagalannya menjadi katalisator yang diperlukan untuk penciptaan Benteng Marlborough. Dengan kata lain, tanpa pelajaran pahit dari York, Marlborough mungkin tidak akan pernah dibangun dengan tingkat kecermatan strategis dan kekuatan struktural yang dimilikinya.
Seiring berjalannya waktu, kesuksesan, kemegahan, dan daya tahan Benteng Marlborough secara total menenggelamkan memori tentang pendahulunya. Saat ini, Benteng Marlborough adalah destinasi wisata utama, sebuah ikon kebanggaan Bengkulu yang dirayakan dan dilestarikan dengan baik. Sebaliknya, Benteng York menjadi sebuah catatan kaki dalam sejarah, terlupakan oleh sebagian besar masyarakat dan hanya dikenal oleh para spesialis, sejarawan, dan segelintir penduduk lokal. Kondisi situs Benteng York saat ini—terbengkalai, ditumbuhi semak belukar, dan tanpa interpretasi yang memadai—adalah manifestasi fisik dari inversi sejarah ini. Ironisnya, benteng yang menjadi fondasi kini nyaris tak terlihat, sementara benteng yang dibangun di atas pelajarannya berdiri tegak sebagai monumen utama.
Kesimpulan: Merebut Kembali Warisan yang Memudar dan Rekomendasi Masa Depan
Analisis dalam berita ini menegaskan kembali bahwa Benteng York, terlepas dari usianya yang singkat dan nasibnya yang tragis, bukanlah sebuah reruntuhan yang tidak signifikan. Ia adalah eksperimen fondasional kehadiran Inggris di Sumatra. Kegagalannya memberikan pengetahuan krusial yang diperoleh dengan susah payah, yang pada gilirannya memungkinkan keberhasilan jangka panjang proyek kolonial Inggris yang berpusat di Benteng Marlborough. Oleh karena itu, kisah Benteng York adalah bagian yang esensial dan tidak terpisahkan untuk pemahaman yang utuh tentang sejarah Bengkulu pada era kolonial.
Berita ini kembali pada paradoks sentral yang telah diuraikan di awal: penetapan Benteng York sebagai Cagar Budaya Peringkat Kota pada tahun 2020 belum diterjemahkan menjadi tindakan pelestarian atau pelibatan publik yang berarti. Situs ini tetap rentan terhadap pengabaian, kerusakan alam, dan vandalisme dari "tangan-tangan jahil". Situasi ini menyoroti sebuah tantangan kritis dalam manajemen warisan budaya di Indonesia: pengakuan resmi melalui surat keputusan hanyalah langkah pertama yang akan menjadi sia-sia tanpa adanya rencana aksi yang konkret, alokasi dana yang memadai, dan keterlibatan aktif dari komunitas.
Berdasarkan analisis yang komprehensif, berita ini mengusulkan serangkaian rekomendasi yang dapat ditindaklanjuti untuk menjembatani kesenjangan antara status resmi situs dan realitasnya di lapangan:
Demarkasi Fisik dan Perlindungan: Area situs cagar budaya harus ditandai secara jelas dan permanen, idealnya dengan pagar pembatas dan papan nama resmi. Langkah ini bertujuan untuk mencegah perambahan lebih lanjut, melindungi sisa-sisa arkeologis di bawah permukaan, dan secara tegas menginformasikan kepada publik tentang status lindungnya.
Papan Interpretasi dan Penceritaan: Pemasangan panel-panel interpretatif yang profesional dan multibahasa (Indonesia dan Inggris) sangatlah krusial. Panel-panel ini harus menceritakan kisah Benteng York secara naratif: tujuannya, penyebab kegagalannya, dan hubungannya yang tak terpisahkan dengan Benteng Marlborough. Ini secara langsung akan mengatasi status "terlupakan" dari situs tersebut.
Rekonstruksi dan Visualisasi Digital: Mengingat minimnya sisa-sisa fisik, strategi kunci untuk menghidupkan kembali benteng ini adalah melalui rekonstruksi digital atau virtual. Teknologi seperti augmented reality (AR) dapat digunakan. Dengan memindai kode QR yang ditempatkan di lokasi, pengunjung dapat melihat visualisasi 3D benteng di perangkat seluler mereka, mengubah ruang kosong menjadi pengalaman sejarah yang imersif.
Integrasi ke dalam Narasi Pariwisata Bengkulu: Otoritas pariwisata Bengkulu harus secara formal mengintegrasikan kisah Benteng York ke dalam narasi resmi Benteng Marlborough. Tur di Marlborough seharusnya dimulai dengan menceritakan kisah "pendahulu hantu"-nya. Bahkan, kunjungan singkat ke situs York terlebih dahulu dapat dianjurkan untuk memberikan konteks yang kaya bagi pengunjung sebelum mereka melihat Marlborough. Ini akan membingkai ulang York bukan sebagai reruntuhan yang menyedihkan, tetapi sebagai "Bab 1" yang esensial dari kisah besar kehadiran Inggris di Bengkulu.
Keterlibatan Komunitas dan Pemangku Kepentingan: Perlu adanya pelibatan aktif dengan komunitas sekitar, terutama pihak sekolah (SDN 57) yang menempati sebagian area situs. Situs ini dapat dijadikan "laboratorium luar ruangan" untuk pelajaran sejarah lokal, menumbuhkan rasa kepemilikan dan kepedulian (stewardship) sejak usia dini di kalangan generasi muda Bengkulu.
Pada akhirnya, upaya untuk melestarikan ingatan akan Benteng York bukanlah tentang mengagungkan sebuah kegagalan kolonial, melainkan tentang merangkul kompleksitas sejarah itu sendiri. Ini adalah tentang memahami cerita lengkap dari masa lalu Bengkulu dan memastikan bahwa bagian yang fondasional ini, meskipun bersifat fana, tidak hilang selamanya ditelan waktu. Merebut kembali warisan Benteng York berarti melengkapi narasi sejarah kota dan memberikan penghormatan yang layak kepada sebuah situs yang, dalam kegagalannya, membentuk takdir wilayah tersebut.
0 Comments