Bersamaan dengan kemeriahan Festival Tabut 2025, dunia literasi Bengkulu mendapat kejutan manis dengan terbitnya buku "Kami Orang Tabut" karya Agustam Rachman. Buku yang meraih dukungan penuh dari Menteri Kebudayaan Fadli Zon hingga Gubernur Bengkulu ini menjadi dokumentasi komprehensif pertama yang mengulas mendalam makna filosofis dan sosiologis tradisi Tabut sebagai identitas kolektif masyarakat Bengkulu.
Bengkulu - Di tengah hiruk-pikuk Festival Tabut 2025 yang memukau ribuan pengunjung, sebuah karya monumental lahir untuk mengabadikan esensi terdalam tradisi berusia ratusan tahun ini. Buku "Kami Orang Tabut" karya Agustam Rachman, S.H., M.A.P.S., resmi diluncurkan tepat pada momentum festival, Kamis (26/6/2025), membawa narasi yang melampaui sekadar dokumentasi sejarah.
"Judul 'Kami Orang Tabut' merefleksikan rasa bangga seluruh masyarakat Bengkulu terhadap Tabut, tanpa memandang suku atau agama. Ini bukan tentang kepemilikan eksklusif, melainkan tentang identitas kolektif yang mengikat kita semua," ungkap Agustam Rachman dengan penuh semangat saat peluncuran bukunya.
Buku yang berasal dari pengembangan tesis S2 yang diselesaikan pada 2014 ini mengalami proses pematangan selama delapan bulan hingga menjadi karya yang beradaptasi dengan perkembangan zaman. Yang membuatnya istimewa, karya ini mendapat sambutan luar biasa dari berbagai kalangan, mulai dari pemerintah pusat hingga akademisi.
Dukungan Penuh dari Pemerintah Pusat hingga Daerah
Menteri Kebudayaan RI, Dr. Fadli Zon, dalam kata pengantarnya memberikan apresiasi mendalam terhadap karya ini. "Festival Tabut di Bengkulu merupakan cermin kebudayaan Indonesia yang menggambarkan bagaimana sebuah tradisi dapat melintasi berbagai sekat, mengintegrasikan unsur keagamaan, nilai-nilai sosial, serta simbol-simbol budaya lokal dalam satu kesatuan perayaan," tulis Fadli Zon.
Menteri juga menekankan bahwa tradisi Tabut menunjukkan betapa budaya dapat tetap hidup, dinamis, dan mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan akar tradisionalnya. Dukungan dari tingkat nasional ini menandakan pengakuan terhadap nilai strategis Tabut sebagai warisan budaya bangsa.
Di tingkat daerah, Gubernur Bengkulu H. Helmi Hasan, S.E., menyambut dengan antusias terbitnya buku ini. "Dengan penuh rasa syukur dan bangga, saya menyambut hangat hadirnya buku 'KAMI ORANG TABUT' ini. Sebuah karya yang bukan hanya merekam sejarah panjang perjalanan budaya Tabut, tetapi juga menghadirkan narasi yang jujur dan menyentuh," tulis Helmi dalam sambutannya.
Gubernur menekankan keunikan Tabut Bengkulu yang tidak hadir sebagai medium pelampiasan dendam sejarah, melainkan sebagai ruang harmoni yang menjembatani berbagai perbedaan. "Di Bengkulu, peringatan Tabut justru menjadi instrumen sosial yang menguatkan ikatan lintas suku, agama, dan golongan. Tak ada sekat mazhab, tak ada tembok identitas," tegasnya.
Dokumentasi Akademis yang Mendalam
Walikota Bengkulu Dr. Dedy Wahyudi mengapresiasi keberanian akademis yang ditunjukkan penulis. "Menulis bukan sekadar menyampaikan informasi tetapi juga tentang berpikir yang mendalam dan menulis juga butuh keberanian. Penulis telah berhasil menuntaskannya," ujar Dedy.
Dedy berharap buku ini dapat menjadi rujukan berharga bagi akademisi, peneliti, dan masyarakat umum dalam memahami dan menghargai warisan budaya leluhur. "Semoga buku ini menjadi bahan informasi bagi yang ingin tahu tentang budaya Tabut ini," tambahnya.
Rektor UIN Fatmawati Sukarno Bengkulu, KH. Zulkarnain, optimis bahwa buku ini akan menjadi rujukan utama bagi dunia akademik. Beliau juga berharap karya ini dapat berfungsi sebagai duta budaya yang memperkenalkan Tabut Bengkulu ke kancah nasional bahkan internasional.
Analisis Sosiologis yang Mendalam
Yang membedakan buku ini dari dokumentasi budaya lainnya adalah pendekatan analisis menggunakan Teori Struktural Fungsional Emile Durkheim. Agustam berhasil menjelaskan bagaimana Tabut berfungsi sebagai mekanisme sosial yang memelihara keteraturan dan solidaritas masyarakat.
"Selama berabad-abad, Tabut telah bertahan. Ia bukan sekadar ritual, bukan pula sekadar atraksi tahunan. Tabut adalah jembatan antara masa lalu dan masa kini, antara keyakinan dan identitas, antara individu dan masyarakat," tulis Agustam dalam epilognya.
Dr. HM. Muslimin, S.H., M.H., tokoh pers senior Bengkulu, memberikan penilaian tinggi terhadap karya ini. "Tulisan 'KAMI ORANG TABUT' adalah sesuatu yang luar biasa. Penulis berhasil mengulas lengkap tentang Tabut Bengkulu. Ke depan akan menjadi rujukan utama bagi siapa saja yang ingin mendalami tentang Tabut Bengkulu," ungkapnya.
Transformasi dari Tradisi ke Festival
Buku ini secara komprehensif mengupas transformasi Tabut dari tradisi religius menjadi festival budaya yang inklusif. Agustam menjelaskan bagaimana masyarakat Bengkulu, baik Syiah maupun Sunni, pendatang maupun pribumi, muda maupun tua, turut larut dan menyatu dalam satu bahasa simbolik Tabut.
"Dol bukan hanya alat musik, tapi media komunikasi sosial. Tabut mampu menyatukan berbagai unsur sosial, memperkuat solidaritas, dan menegaskan identitas kolektif," jelas Agustam.
Ir. Achmad Syiafril S., Ketua Kerukunan Keluarga Tabut (KKT) Bencoolen, menyampaikan bahwa antusiasme masyarakat terhadap Tabut sangat tinggi. "Pada malam-malam terakhir, penonton Tabut sangat ramai yang berarti masyarakat sangat menerima rangkaian ritual Tabut," ungkapnya.
Tantangan dan Peluang di Era Modern
Agustam tidak menutup mata terhadap tantangan yang dihadapi tradisi Tabut di era modern. "Globalisasi, modernisasi, dan komersialisasi budaya menjadi ancaman sekaligus peluang bagi Tabut. Ada kekhawatiran bahwa makna sakral akan larut dalam kemasan wisata budaya," tulisnya.
Namun, dengan optimisme, ia meyakini bahwa selama solidaritas sosial cukup kuat, nilai-nilai akan bertahan meski bentuknya berubah. "Kita bisa membayangkan bentuk-bentuk baru Tabut di masa depan, mungkin dengan pelibatan teknologi, dengan dokumentasi digital, atau dengan narasi-narasi baru yang lebih kontekstual bagi generasi muda," jelasnya.
Respons Positif Dunia Akademik
Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Bengkulu, Agus Setiyanto, memberikan apresiasi terhadap metodologi penelitian yang digunakan dalam buku ini. Sementara pemerhati budaya dan sastra, Emong Soewandi, menilai bahwa karya ini berhasil menangkap esensi budaya Bengkulu dalam narasi yang indah dan bermakna.
Visi untuk Masa Depan
Melalui bukunya, Agustam menyampaikan pesan mendalam tentang pentingnya melestarikan tradisi bukan sebagai pemeliharaan masa lalu, melainkan sebagai cara membangun masa depan. "Tabut mengajarkan pentingnya keberlanjutan nilai dalam wujud yang bisa dirasakan, disentuh, dan dijalani bersama," tegasnya.
Generasi muda mungkin tidak memahami sepenuhnya kisah Karbala, tetapi ketika mereka ikut menabuh dol, menghias Tabut, atau sekadar menyaksikan arak-arakan, mereka secara tidak sadar sedang membentuk jalinan sosial yang memperkuat komunitas.
Cetakan Lanjutan dengan Dukungan Lebih Luas
Agustam mengungkapkan bahwa buku yang saat ini masih dicetak terbatas akan segera memiliki cetakan kedua yang lebih lengkap. "Minggu depan akan ada cetakan lanjutan yang lebih lengkap, dengan tambahan kata sambutan dari Bapak Fadli Zon dan beberapa tokoh lainnya yang ikut menyambut baik terbitnya buku ini," jelasnya.
Peluncuran buku "Kami Orang Tabut" pada momentum Festival Tabut 2025 ini bukan sekadar kebetulan, melainkan simbol bagaimana tradisi dan literasi dapat berjalan beriringan. Dalam era digital ini, dokumentasi tertulis tetap memiliki nilai yang tak tergantikan sebagai warisan untuk generasi mendatang.
Dengan terbitnya karya monumental ini, Bengkulu tidak hanya berhasil melestarikan tradisinya dalam bentuk festival, tetapi juga mengabadikannya dalam bentuk literatur yang akan menjadi referensi abadi bagi siapa saja yang ingin memahami esensi terdalam dari identitas kolektif masyarakat Bengkulu.
0 Comments