
Danau Mas Harun Bastari: Sebuah Analisis Mendalam Destinasi Permata Rejang Lebong Menuju Pariwisata Berkelanjutan
REJANG LEBONG, Caribengkulu.com – Kabupaten Rejang Lebong di Provinsi Bengkulu membanggakan salah satu aset wisatanya yang paling berharga: Danau Mas Harun Bastari (DMHB). Terletak strategis di tepi Jalan Lintas Curup-Lubuk Linggau yang ramai, danau ini bukan hanya sekadar lanskap indah, melainkan sebuah destinasi dengan sejarah, budaya, dan potensi pengembangan yang mendalam. Sebuah laporan komprehensif terbaru menyoroti keindahan alamnya yang unik, aksesibilitas tinggi, serta pengembangan atraksi baru yang menjanjikan. Namun, di balik prospek cerah ini, DMHB juga dihadapkan pada sejumlah tantangan krusial yang memerlukan perhatian serius dan strategi pengelolaan yang terpadu.
Profil Destinasi: Lokasi Strategis, Keindahan Alam, dan Misteri Data
Danau Mas Harun Bastari, yang secara administratif berada di Desa Karang Jaya (atau Mohorejo), Kecamatan Selupu Rejang, memiliki keunggulan geografis yang tak terbantahkan. Posisi ini menjadikannya sangat mudah diakses, berjarak hanya sekitar 17 hingga 19 km dari Curup, ibu kota kabupaten. Selain itu, kedekatannya dengan pusat urban lain seperti Kota Bengkulu (sekitar 95 km) dan Kota Lubuk Linggau, Sumatera Selatan (32-35 km), memperkuat posisinya sebagai destinasi yang menarik bagi wisatawan lokal, regional, bahkan antarprovinsi. Kemudahan jangkauan ini secara langsung menekan hambatan perjalanan, mendorong kunjungan spontan, dan memperbesar potensi pasar wisatawan.
Danau ini menyuguhkan pemandangan alam yang memukau, dikelilingi oleh perbukitan hijau yang subur, menciptakan topografi visual menyerupai "mangkuk" yang membingkai danau dengan sempurna. Berada pada ketinggian 223 meter di atas permukaan laut dengan kedalaman rata-rata 7 hingga 15 meter, perairan DMHB cukup dalam untuk berbagai aktivitas rekreasi air.
Yang paling ikonik dari danau ini adalah pulau kecil di tengahnya yang berbentuk khas menyerupai huruf "C". Pulau gambut ini terus berkembang seiring waktu, dan bagi masyarakat setempat, bentuk "C" ini melambangkan "Curup", ibu kota kabupaten. Beberapa pengunjung bahkan melihatnya menyerupai simbol hati, menambah daya tarik romantisnya. Uniknya, ini adalah elemen branding organik yang kuat, mudah diingat, dan membedakan DMHB dari destinasi danau lainnya.
Namun, di balik semua keindahan ini, terdapat sebuah anomali data yang signifikan. Sumber-sumber yang ada menampilkan tiga angka luas danau yang sangat berbeda: 36 hektare, 75 hektare, dan 3.600 hektare. Perbedaan yang mencolok ini bukan sekadar salah ketik, melainkan menunjukkan ambiguitas fundamental dalam definisi dan cakupan aset wisata. Angka 3.600 hektare kemungkinan merujuk pada "Kawasan Otorita Khusus Wisata" yang lebih luas, sementara 36 atau 75 hektare adalah luas permukaan air danau itu sendiri. Ketidakjelasan ini memiliki implikasi serius pada perencanaan tata ruang, strategi pengelolaan, dan konservasi lingkungan. Oleh karena itu, klarifikasi resmi dan penggunaan terminologi yang konsisten oleh semua pemangku kepentingan, terutama Dinas Pariwisata, menjadi kebutuhan mendesak.
Jejak Sejarah dan Konteks Budaya Danau yang Dinamis
Danau Mas Harun Bastari memiliki narasi sejarah yang menarik. Dulunya dikenal sebagai Danau Kasnah—yang berarti "cermin" dalam bahasa lokal—nama modernnya adalah sebuah penghormatan. "Mas Harun Bastari" menggabungkan nama Kolonel Infanteri Harun Sohar, seorang perwira militer yang memprakarsai pembukaan akses dan penataan awal danau pada awal 1960-an, serta H. Achmad Bastari, Gubernur Sumatera Selatan pada era yang sama yang mendukung pengembangannya. Awalan "Mas" juga dikaitkan dengan Korem Garuda Mas dan panggilan kehormatan untuk Harun Sohar yang berasal dari Jawa. Penetapan nama resmi ini dilegalkan melalui Surat Keputusan Bupati Nomor 461 Tahun 2002.
Sejarah kawasan ini juga memiliki lapisan sosio-politik yang menarik. Sebelum menjadi area rekreasi, lokasi ini pernah menjadi basis konsolidasi bagi Barisan Tani Indonesia (BTI), sebuah organisasi tani dengan afiliasi politik yang kuat. Titik balik terjadi pada awal 1960-an ketika Kodam II Sriwijaya mengambil alih kawasan, mengubah fungsinya dari pusat aktivitas politik menjadi ruang publik, dan meletakkan fondasi pengembangan DMHB sebagai destinasi wisata.
Meski demikian, ada satu mitos lokal yang sering salah dikaitkan dengan DMHB: legenda ular berkepala tujuh. Penelusuran lebih dalam menunjukkan bahwa kisah ini sebenarnya berakar kuat pada Danau Tes, danau lain yang lebih besar di Kabupaten Lebong, bukan DMHB. Adanya "peminjaman mitologi" ini, meskipun umum dalam pemasaran pariwisata, berisiko mengaburkan narasi otentik kedua lokasi. Ini menempatkan pengelola pada pilihan strategis: membangun narasi otentik DMHB yang berpusat pada sejarah uniknya, peran BTI dan militer, serta keunikan pulau 'C' yang asli. Strategi berbasis otentisitas cenderung lebih berkelanjutan.
Dalam konteks budaya, kawasan Rejang Lebong memiliki aset tangible seperti Batik Kaganga. Motif batik yang terinspirasi dari aksara asli Suku Rejang ini sering dipadukan dengan bunga Rafflesia arnoldii. Batik ini dapat diintegrasikan efektif ke dalam pengalaman pariwisata DMHB, baik melalui penjualan cenderamata, lokakarya, atau dekorasi fasilitas, untuk memperkuat nuansa lokal.
Penawaran Pariwisata: Atraksi Beragam dan Paradoks Pemeliharaan
Danau Mas Harun Bastari menawarkan serangkaian aktivitas yang beragam untuk berbagai segmen wisatawan. Untuk aktivitas berbasis air, pengunjung dapat menikmati berkeliling dengan perahu motor, menggunakan sepeda air, atau memancing. Baru-baru ini, pengelola telah menambahkan wahana kayak atau kano, menjadikannya salah satu dari sedikit destinasi di Bengkulu yang menawarkan fasilitas ini. Bagi pencari petualangan, tersedia fasilitas outbound dan flying fox. Sementara itu, untuk keluarga, ada wahana permainan anak yang memadai.
Keindahan alam sekitar adalah daya tarik utama, memungkinkan pengunjung berjalan-jalan santai, berfoto, atau mengunjungi taman-taman bunga tematik seperti Taman Bunga Inaya dan kebun stroberi di dekat danau. Inovasi paling signifikan dan strategis adalah pengembangan titik lepas landas untuk paralayang, yang dirancang untuk memposisikan DMHB sebagai pusat olahraga petualangan, menarik segmen wisatawan baru, dan meningkatkan citra destinasi secara keseluruhan. Peluncuran resmi direncanakan pada 17 Agustus 2025.
Fasilitas pendukung di DMHB telah dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pengunjung. Terdapat fasilitas esensial seperti toilet, musala, area parkir yang luas, serta berbagai kios makanan dan kafe. Pilihan akomodasi juga beragam, mulai dari hotel, homestay, cottage, hingga vila milik pemerintah atau swasta, dengan harga yang cukup terjangkau. Fasilitas tambahan seperti toko cenderamata dan aula pertemuan juga tersedia.
Namun, di sinilah paradoks antara pengembangan dan pemeliharaan menjadi nyata. Meskipun ada dorongan kuat untuk menambah atraksi modern seperti paralayang dan kano, berbagai studi dan laporan lapangan secara konsisten menyoroti kekurangan signifikan dalam pemeliharaan infrastruktur dasar yang sudah ada. Toilet dilaporkan dalam kondisi kurang baik, dan fasilitas lain seperti gazebo serta air mancur sering dinilai rusak atau tidak berfungsi. Kurangnya rencana pemeliharaan terstruktur menjadi masalah berulang. Investasi besar pada atraksi baru tanpa diimbangi dengan pemeliharaan fasilitas dasar berisiko menciptakan pengalaman pengunjung yang negatif, menyebabkan mereka enggan kembali. Ini menggarisbawahi perlunya strategi yang seimbang, memprioritaskan pemeliharaan aset inti bersamaan dengan inovasi.
Informasi pengunjung juga tergolong terjangkau. Danau ini buka setiap hari dari pukul 08:00 hingga 18:00 WIB. Harga tiket masuk umumnya sekitar Rp 5.000 per orang, dengan biaya parkir standar Rp 3.000 untuk roda dua dan Rp 5.000 untuk roda empat. Wahana spesifik, seperti sewa kano, dikenakan biaya tambahan sekitar Rp 20.000.
Penilaian Lingkungan dan Potensi Pendanaan Berkelanjutan
Ekosistem di sekitar DMHB kaya akan keanekaragaman hayati. Vegetasi hijau subur dan kebun sayur masyarakat di sekitar danau menciptakan nuansa agraris yang segar. Pemerintah daerah telah menanam 7.000 bunga dari 15 spesies berbeda, termasuk Krisan, Mawar, dan Anggrek Tanah, untuk mempercantik area dan mendukung agrowisata. Kebun jeruk dan stroberi juga menawarkan pengalaman wisata petik buah. Danau ini adalah habitat subur bagi ikan air tawar seperti nila, gabus, mujair, ikan mas, dan lobster air tawar, menunjukkan kesehatan ekosistem perairannya.
Namun, kekayaan alam ini menghadapi tantangan serius. Pertumbuhan eceng gondok (Eichhornia crassipes) yang tidak terkendali menjadi masalah paling sering disorot, menutupi permukaan danau dan mengganggu aktivitas rekreasi. Kehadiran eceng gondok dalam jumlah besar juga sering mengindikasikan polusi nutrien (eutrofikasi). Selain itu, erosi dan isu kebersihan serta pengelolaan sampah juga memerlukan perhatian segera. Balai Besar Wilayah Sungai Sumatera (BWSS) VIII memiliki mandat untuk menjaga danau ini sebagai daerah tangkapan air vital, yang fungsinya dapat terancam oleh erosi dan sedimentasi.
Sebuah studi akademis menggunakan Contingent Valuation Method (CVM) mengungkap wawasan penting: nilai "Kesediaan untuk Membayar" (Willingness to Pay - WTP) rata-rata dari pengunjung untuk perbaikan dan pelestarian lingkungan DMHB adalah Rp 8.770 per kunjungan. Angka ini jauh di atas harga tiket masuk saat ini (sekitar Rp 5.000). Temuan ini bukanlah sekadar data akademis, melainkan peta jalan menuju model pendanaan berkelanjutan. Dengan menyesuaikan harga tiket lebih dekat ke nilai WTP—misalnya dengan menambahkan "biaya konservasi" yang transparan—manajemen dapat menciptakan aliran pendapatan baru yang didedikasikan khusus untuk mengatasi masalah lingkungan seperti penanganan eceng gondok dan pengelolaan sampah. Mekanisme ini dapat menciptakan siklus positif: kepuasan pengunjung yang lebih tinggi (karena lingkungan yang lebih baik) akan membenarkan harga tiket, dan dananya kemudian digunakan untuk pemeliharaan lebih lanjut.
Penelitian juga merekomendasikan adopsi model "Pariwisata Berbasis Hijau" (Green Based Tourism) untuk pengelolaan DMHB di masa depan, yang menekankan penghormatan terhadap alam dan kelestarian lingkungan.
Kinerja Ekonomi dan Kebutuhan Manajemen Profesional
Secara resmi, pengelolaan Danau Mas Harun Bastari berada di bawah wewenang Dinas Pariwisata Kabupaten Rejang Lebong. Destinasi ini merupakan salah satu penyumbang utama Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor pariwisata. Kinerja kunjungannya menunjukkan fluktuasi, namun saat libur besar seperti Lebaran, jumlah pengunjung bisa mencapai ribuan per hari. Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKjIP) Dinas Pariwisata tahun 2023 menunjukkan sektor pariwisata secara keseluruhan berhasil mencapai 224,03?ri target PAD yang ditetapkan, sebuah pencapaian yang sangat baik.
Namun, terdapat kelemahan kelembagaan yang signifikan: ketiadaan organisasi pengelola berbasis masyarakat yang formal, seperti Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS). Pembentukan POKDARWIS yang resmi sangat direkomendasikan untuk meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, memperbaiki manajemen lapangan, memastikan pembagian manfaat ekonomi yang lebih merata, dan memperkuat rasa kepemilikan komunitas terhadap aset wisata. Keberadaan DMHB sendiri telah memberikan dampak ekonomi positif yang nyata bagi masyarakat sekitar, menciptakan lapangan kerja dan peluang usaha, terutama melalui warung makan, toko cenderamata, dan penyewaan wahana. Pengembangan agrowisata dan penjualan produk kerajinan lokal seperti Batik Kaganga juga memperkuat efek pengganda ekonomi ini.
Analisis Strategis dan Prospek Masa Depan
Analisis SWOT terhadap Danau Mas Harun Bastari menempatkannya pada posisi strategis "Kuadran III", yang ditandai oleh peluang eksternal yang tinggi (minat wisata meningkat, pengembangan paralayang, potensi agrowisata) namun dihadapkan pada kelemahan internal yang signifikan (pemeliharaan fasilitas buruk, keterbatasan dana dan SDM, manajemen tidak terstruktur, promosi kurang optimal). Ini adalah posisi yang menuntut strategi "perbaikan" atau turnaround yang komprehensif. Prioritas strategis tidak boleh hanya berfokus pada mengejar peluang baru, melainkan harus secara simultan memperbaiki kelemahan internal sambil selektif mengejar peluang dengan potensi tertinggi. Mengabaikan kelemahan internal akan menyebabkan investasi baru gagal memberikan hasil yang optimal.
Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong saat ini gencar mempromosikan paralayang sebagai atraksi unggulan berikutnya, dengan peluncuran resmi yang dinanti pada 17 Agustus 2025. Titik lepas landas di Vila Diklat DMHB pada ketinggian sekitar 100 meter dinilai sangat potensial karena kondisi angin yang mendukung. Inisiatif ini diharapkan menarik segmen wisatawan petualangan dan meningkatkan citra destinasi.
Persepsi pengunjung secara umum positif, menyoroti keindahan alam, iklim sejuk, dan suasana ramah keluarga. Namun, kritik konstruktif terus muncul, terutama berfokus pada kebutuhan mendesak untuk perbaikan pemeliharaan fasilitas, peningkatan kebersihan, dan manajemen yang lebih terorganisir dan profesional.
Rekomendasi Strategis Menuju Danau Mas Harun Bastari Berkelanjutan
Untuk mewujudkan potensi penuh DMHB, laporan ini merumuskan serangkaian rekomendasi strategis yang terbagi dalam tiga horizon waktu:
Jangka Pendek (0-6 Bulan) – Perbaikan Operasional:
Standarisasi dan Klarifikasi Informasi: Dinas Pariwisata harus segera menyelesaikan diskrepansi data luas danau dan mengklarifikasi status "Xiao Lake Tembok Cina" di semua platform resmi.
Prioritaskan Pemeliharaan Fasilitas Inti: Alokasikan anggaran dan tim khusus untuk segera memperbaiki dan merawat fasilitas vital yang berinteraksi langsung dengan pengunjung, terutama toilet, tempat sampah, dan gazebo.
Tingkatkan Layanan Pengunjung di Lokasi: Pasang papan penunjuk arah dan informasi yang jelas di seluruh kawasan. Pertimbangkan pendirian pos informasi wisata sederhana di dekat pintu masuk.
Jangka Menengah (6-24 Bulan) – Pengembangan Institusional dan Produk:
Implementasikan Model Pendanaan Berkelanjutan: Lakukan kajian untuk merevisi struktur harga tiket berdasarkan temuan studi CVM. Pertimbangkan penerapan sistem harga berjenjang atau pengenalan "biaya konservasi" transparan yang dananya dialokasikan untuk pengelolaan lingkungan dan pemeliharaan.
Formalisasi Manajemen Berbasis Komunitas: Pemerintah daerah harus memfasilitasi pembentukan POKDARWIS yang berbadan hukum untuk memberdayakan masyarakat lokal dan meningkatkan efektivitas manajemen harian.
Kembangkan Strategi Pemasaran Terpadu: Ciptakan identitas merek yang kohesif dengan fokus pada aset otentik (pulau 'C', sejarah, agrowisata). Promosikan atraksi baru seperti paralayang melalui kampanye digital yang tertarget.
Jangka Panjang (2-5 Tahun) – Konservasi dan Pemosisian Merek:
Susun Rencana Pengelolaan Lingkungan Komprehensif: Bekerja sama dengan BWSS VIII dan ahli lingkungan untuk mengembangkan rencana jangka panjang, termasuk pengelolaan kualitas air, pengendalian eceng gondok secara berkelanjutan (misalnya, diolah menjadi pupuk), dan mitigasi erosi.
Posisikan DMHB sebagai Pusat Eko-Agrowisata Unggulan: Transformasikan citra destinasi menjadi pusat eko-agrowisata yang dikenal karena praktik berkelanjutan, kekayaan budaya lokal (Batik Kaganga), dan pengalaman edukatif (misalnya, dengan membangun museum kecil atau diorama tentang sejarah unik danau).
Secara keseluruhan, Danau Mas Harun Bastari adalah destinasi dengan potensi luar biasa yang belum sepenuhnya terealisasi. Keberhasilan di masa depan tidak hanya bergantung pada penambahan atraksi baru, tetapi pada kemampuan para pengelola untuk melakukan pergeseran paradigma. Dibutuhkan transisi dari pola pikir yang hanya berfokus pada pembangunan fisik menuju strategi yang seimbang dan holistik, mengintegrasikan profesionalisme operasional, pelestarian lingkungan berkelanjutan, dan partisipasi komunitas yang otentik dan berdaya. Jika langkah-langkah strategis ini dapat diimplementasikan dengan serius, Danau Mas Harun Bastari memiliki peluang besar untuk menjadi salah satu destinasi wisata alam dan budaya terkemuka di Pulau Sumatera.
0 Comments