29

Berawan

Senin, 06 Oktober 2025 09:00

Bukit Kaba, Permata Vulkanik Rejang Lebong: Sintesis Keindahan Alam, Signifikansi Budaya, dan Dinamika Pariwisata
0 Likes
611 Views
Edukasi  Lingkungan

Bukit Kaba, Permata Vulkanik Rejang Lebong: Sintesis Keindahan Alam, Signifikansi Budaya, dan Dinamika Pariwisata

REJANG LEBONG, Caribengkulu.com– Di jantung Provinsi Bengkulu, tepatnya di Kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong, berdiri sebuah gunung berapi aktif yang sekaligus menjadi magnet pariwisata utama:Bukit Kaba. Secara geografis, lokasinya berada sekitar 15 km di tenggara Kota Curup, ibu kota kabupaten, dengan pos registrasi utama di Desa Sumber Urip. Beberapa sumber juga menyebut Desa Sambirejo sebagai bagian dari wilayah administratif yang lebih luas, dan kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Kaba sendiri membentang di dua kabupaten, yaitu Rejang Lebong dan Kepahiang.

Situs ini dikenal dengan dua nama yang sering digunakan secara bergantian: Bukit Kaba dan Gunung Kaba. Masyarakat lokal, khususnya, lebih sering menyebutnya sebagai "Bukit Kaba". Nama "Kaba" sendiri diduga berasal dari bahasa Minangkabau yang berarti "kamu", terkait dengan sebuah legenda konflik historis antara suku Rejang dan suku Pasemah. Pilihan kata antara "gunung" dan "bukit" ini bukan sekadar preferensi linguistik, melainkan sebuah indikator sosio-geografis yang signifikan. Istilah "gunung" umumnya menyiratkan bentuk lahan yang besar, megah, dan sering kali sakral, sementara "bukit" mengesankan sesuatu yang lebih kecil, lebih mudah diakses, dan tidak terlalu mengintimidasi. Preferensi masyarakat lokal untuk menggunakan istilah "Bukit" menunjukkan hubungan yang lebih dekat dan akrab dengan bentang alam tersebut. Ia tidak dipandang sebagai puncak yang jauh dan menakutkan, melainkan sebagai bagian dari lingkungan hidup mereka sehari-hari. Persepsi kemudahan akses ini tercermin dalam popularitasnya di kalangan pendaki pemula. Pada akhirnya, detail linguistik ini membantu menjelaskan tingginya arus pengunjung, yang secara langsung berkontribusi pada kerentanannya terhadap dampak aktivitas manusia, sebuah tema sentral dalam dinamika pengelolaannya.

Bukit Kaba merupakan aset pariwisata utama bagi Provinsi Bengkulu, khususnya Kabupaten Rejang Lebong. Ia merupakan satu-satunya destinasi wisata besar di provinsi ini yang berbasis fenomena vulkanis. Status gandanya sebagai tujuan pendakian yang populer sekaligus gunung berapi aktif Tipe A yang diawasi secara ketat menciptakan narasi sentral laporan ini: pengelolaan sumber daya alam yang merupakan aset sekaligus potensi bahaya.

Kanvas Alam: Profil Geologi, Ekologi, dan Perjalanan Konservasi yang Dinamis

Gunung Kaba adalah sebuah stratovolcano aktif Tipe A, yang berarti memiliki catatan sejarah letusan sejak tahun 1600. Letusan bersejarah tercatat terjadi pada tahun 1600, 1907, 1951, dan 1991. Ketinggiannya bervariasi, berkisar antara 1.937 mdpl hingga 1.983 mdpl, dengan angka 1.952 mdpl menjadi salah satu figur resmi yang sering dikutip. Puncak tertingginya yang sesungguhnya adalah puncak berhutan pada ketinggian 1.952 mdpl, yang terletak sedikit di sebelah barat bibir kawah utama dan tidak memiliki jalur pendakian formal.

Gunung ini terkenal dengan kompleks kawahnya yang jamak. Beberapa sumber menyebutkan adanya hingga delapan kawah, dengan lima di antaranya kini telah tertutup oleh vegetasi. Daya tarik utamanya adalah dua kawah puncak yang menonjol: Kawah Hidup (atau Kawah Besar), yang merupakan kawah terbesar dengan lebar sekitar 1,2 km dan kedalaman 200 m, masih aktif secara vulkanis dan terus mengeluarkan asap belerang; serta Kawah Mati, terletak di sebelah timur laut, kawah ini juga aktif meskipun namanya menyiratkan sebaliknya, memiliki danau berwarna hijau atau biru kehijauan yang mencolok. Area ini dianggap berbahaya, dengan catatan adanya seorang pendaki yang meninggal di sini dalam beberapa tahun terakhir. Kawah-kawah lain yang disebutkan termasuk Kawah Lama, Kawah Vogelsang, dan Bukit Hitam. Hingga Juli 2025, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menetapkan status Gunung Kaba pada Level I (Normal), mengindikasikan tidak ada tanda-tanda peningkatan aktivitas vulkanik yang signifikan.

Awalnya, kawasan di sekitar Gunung Kaba ditetapkan sebagai Cagar Alam, yang bertujuan utama untuk melindungi bunga langka ikonik, Rafflesia arnoldii. Seiring waktu, statusnya diubah menjadi Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Kaba, dengan luas kawasan berkisar antara 13.490 hingga 14.650,51 hektar. Perubahan status dari Cagar Alam yang bersifat proteksi ketat menjadi TWA yang mengizinkan pemanfaatan untuk pariwisata menandakan pergeseran paradigma konservasi. Hal ini bukan sekadar keputusan birokratis, melainkan respons pragmatis terhadap tekanan sosio-ekonomi yang ada. Beberapa laporan mengindikasikan bahwa fungsi perlindungan flora asli "mulai tidak dapat diandalkan" dan adanya perambahan lahan untuk perkebunan kopi di zona konservasi. Ini menunjukkan bahwa model konservasi yang ketat kemungkinan besar gagal karena berbenturan dengan kebutuhan lahan masyarakat lokal. Dengan demikian, perubahan menjadi TWA merupakan sebuah kompromi strategis, tujuannya adalah untuk menghasilkan nilai ekonomi dari ekosistem melalui pariwisata, sehingga menciptakan insentif bagi masyarakat untuk turut melestarikannya. Namun, strategi ini juga membawa ancaman baru, terutama yang berasal dari aktivitas pariwisata itu sendiri, seperti masalah sampah dan erosi jalur, yang menciptakan serangkaian tantangan pengelolaan baru.

Pada tahun 1999, TWA Bukit Kaba ditetapkan sebagai Kawasan Penting bagi Burung (Important Bird Area - IBA), yang menggarisbawahi perannya yang vital bagi konservasi unggas. Dari segi flora, kawasan ini menjadi rumah bagi beragam jenis tumbuhan, termasuk berbagai spesies anggrek liar, kantong semar, dan secara historis, Rafflesia arnoldii. Untuk fauna, hewan yang paling sering disebut adalah siamang, sejenis kera tak berekor yang lolongannya menjadi suara khas hutan di sana. Satwa liar lainnya yang dapat dijumpai meliputi berbagai jenis burung, serangga, dan beruk.

Perjalanan Pengunjung: Panduan Komprehensif Menikmati Pesona Bukit Kaba

Bukit Kaba menawarkan serangkaian atraksi utama bagi pengunjung. Daya tarik utama adalah pemandangan panorama kompleks kawah dari puncaknya, terutama kontras antara Kawah Hidup yang mengepulkan asap dan danau berwarna di Kawah Mati. Puncak Bukit Kaba adalah lokasi favorit untuk menyaksikan matahari terbit dan terbenam, yang menawarkan suasana magis dan romantis. Berkemah semalam juga memberikan kesempatan untuk menyaksikan langit malam yang cerah bertabur bintang serta gemerlap lampu Kota Curup di kejauhan. Selain itu, terdapat atraksi pemandian air panas dengan air berwarna merah yang unik, di mana pengunjung dapat berendam seluruh badan, sebuah fitur yang disebut-sebut langka.

Bukit Kaba menawarkan dua rute utama menuju area puncak, yang melayani preferensi dan tingkat kebugaran yang berbeda. Jalur Aspal merupakan jalan yang dikelola, meskipun kondisinya dilaporkan sudah cukup rusak dan berlubang. Jalur ini lebih mudah, cocok untuk pemula, dan dapat dilalui dengan ojek motor. Perjalanan dengan ojek memakan waktu sekitar 20-30 menit, sementara berjalan kaki membutuhkan waktu lebih dari 2 jam. Jalur Hutan/Setapak adalah jalur alami yang lebih menantang melalui hutan lebat, dengan bagian yang curam, jurang di sisi jalan, dan sesekali rintangan seperti pohon tumbang. Jalur ini menawarkan pengalaman mendaki yang lebih otentik dan memakan waktu sekitar 2 hingga 4 jam dengan berjalan kaki. Jalur ini lebih langsung tetapi bisa licin dan menjadi habitat pacet selama musim hujan. Kedua rute bertemu di dekat area puncak, dari mana pendakian terakhir dilakukan melalui serangkaian anak tangga panjang (sering disebut "tangga seribu," meskipun jumlah sebenarnya sekitar 307 atau "ratusan") yang mengarah ke bibir kawah.


Aktivitas utama bagi pengunjung adalah trekking/mendaki, yang dianggap cocok untuk pendaki pemula. Berkemah juga kegiatan yang sangat populer, dengan area terbuka yang luas di dekat puncak berfungsi sebagai lokasi perkemahan. Lanskap dramatis kawah, matahari terbit/terbenam, dan langit berbintang menjadikannya favorit bagi para fotografer. Bahkan, menaiki ojek di jalur aspal yang curam dan terjal digambarkan sebagai petualangan ekstrem dan mendebarkan tersendiri.

Untuk informasi praktis, pos pendakian dan area pendakian buka 24 jam setiap hari. Fasilitas yang tersedia terkonsentrasi di pos jaga/basecamp dan meliputi area parkir, toilet dan kamar mandi umum, musala, warung makan, dan penyewaan peralatan. Homestay dan vila tersedia di area yang lebih luas dekat jalan utama. Biaya dan tarif masuk bervariasi antara wisatawan lokal dan mancanegara, dengan tiket dasar wisatawan lokal Rp 12.500 (hari biasa) hingga Rp 15.000 (akhir pekan/libur), dan wisatawan mancanegara mulai dari Rp 111.500 hingga Rp 236.500. Jasa ojek sekitar Rp 100.000 per ojek (pulang-pergi), parkir mobil sekitar Rp 20.000 per hari, dan parkir motor sekitar Rp 5.000 per hari.

Dimensi Manusia: Kekayaan Budaya, Peran Komunitas, dan Ekonomi di Lereng Kaba

Bukit Kaba diselimuti oleh mitologi lokal dan dianggap sebagai tempat yang sakral dan mistis (keramat, angker). Mitos utama meliputi kisah Muning Raib, tentang seorang pemuda yang dibawa oleh seorang dewi ke Bukit Kaba, menjadi dasar lagu daerah dan pantangan bagi pemuda/pemudi. Entitas gaib seperti Malim Bagus dan Elang Berantai diyakini sebagai penjaga puncak, sementara Sebie Bujang Tunggal (roh harimau jadi-jadian) melahirkan tabu lokal untuk tidak mengucapkan kata "harimau". Putri Saudari Kandang adalah roh penjaga hutan di kaki gunung. Puncak gunung juga digunakan oleh sebagian masyarakat lokal untuk persembahan spiritual dan membayar nazar, seperti melepaskan sepasang burung merpati atau menyembelih kambing, karena dipercaya sebagai tempat yang memiliki kekuatan.


Pengelolaan kawasan wisata ini merupakan upaya kolaboratif antara Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan masyarakat setempat. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Sumber Urip adalah lembaga komunitas kunci dalam pengelolaan ini. Didirikan pada tahun 2000, kelompok ini beranggotakan warga desa setempat. Fungsi mereka mencakup pengelolaan pos masuk, registrasi, penjualan tiket, keuangan, layanan ojek, hingga memimpin inisiatif kebersihan. Model Pokdarwis ini menunjukkan keberhasilan pariwisata berbasis masyarakat dalam memberdayakan komunitas. Ia berhasil menciptakan lapangan kerja bagi pemuda lokal—banyak di antaranya adalah petani yang menghadapi penyempitan lahan—dan menghasilkan pendapatan yang signifikan bagi desa. Namun, di sisi lain, kelompok yang sama juga menanggung beban utama dari dampak negatif pariwisata. Merekalah yang harus membersihkan "ratusan karung sampah" yang ditinggalkan oleh pengunjung. Hal ini menciptakan dinamika di mana masyarakat menjadi penerima manfaat sekaligus penjaga utama yang bertanggung jawab untuk mitigasi kerusakan yang disebabkan oleh pihak luar. Ini menyoroti sebuah realitas dalam pariwisata berbasis masyarakat: meskipun berhasil menciptakan kepentingan ekonomi lokal dalam konservasi, model ini juga menempatkan tanggung jawab pengelolaan lingkungan di pundak masyarakat, yang menunjukkan potensi ketidakseimbangan antara sumber masalah (wisatawan yang tidak bertanggung jawab) dan pihak yang menanggung akibatnya.

Pariwisata di Bukit Kaba memberikan manfaat ekonomi langsung bagi masyarakat Desa Sumber Urip. Hal ini menciptakan peluang kerja, terutama bagi 30 pemuda yang tergabung dalam Karang Taruna yang menjaga pos secara bergiliran. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) mengelola usaha terkait pariwisata, yang menghasilkan pendapatan bagi desa. Sebuah studi yang mencakup periode 2008-2017 menunjukkan pertumbuhan pengunjung sebesar 23,72%, yang mengindikasikan basis ekonomi yang terus berkembang dari sektor ini.

Dinamika Kontemporer: Tantangan Lingkungan, Berita Terkini, dan Visi Masa Depan

Secara resmi, TWA Bukit Kaba berada di bawah yurisdiksi Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu. BKSDA bertanggung jawab atas keputusan kebijakan utama, seperti penutupan sementara taman untuk pemulihan ekosistem. Namun, operasional di lapangan sebagian besar didelegasikan kepada Pokdarwis Sumber Urip, menunjukkan adanya model pengelolaan bersama (co-management).

Masalah signifikan dan berulang adalah banyaknya sampah yang ditinggalkan oleh pengunjung, yang menunjukkan rendahnya kesadaran lingkungan di kalangan banyak pendaki. Sampah tersebut meliputi botol plastik, kantong plastik, kemasan makanan, dan sisa-sisa sesajen. Pokdarwis secara rutin melakukan operasi pembersihan, mengumpulkan ratusan kilogram sampah yang dimasukkan ke dalam puluhan karung. Kerusakan lingkungan lainnya termasuk degradasi jalur pendakian dan rusaknya vegetasi. Kondisi ini menyoroti paradoks utama dalam pengelolaan Bukit Kaba. Statusnya yang "ramah untuk pemula" dan aksesibilitasnya yang tinggi, terutama dengan adanya ojek, merupakan faktor pendorong kesuksesan pariwisatanya. Namun, kemudahan akses ini juga memungkinkan demografi pengunjung yang lebih luas dan kurang berpengalaman untuk mencapai puncak. Kelompok ini mungkin tidak teredukasi atau tidak mematuhi prinsip "leave no trace" (jangan tinggalkan jejak) yang umum di kalangan pendaki berpengalaman. Akibatnya, fitur yang membuat Bukit Kaba sukses secara pariwisata menjadi pendorong utama masalah lingkungannya yang paling parah. Ini menjadi tantangan manajemen inti bagi BKSDA dan Pokdarwis, di mana kebijakan tidak bisa hanya berfokus pada peningkatan jumlah pengunjung, tetapi harus secara simultan mengatasi dampak lingkungan dari aksesibilitas ini.


Peristiwa terkini yang paling signifikan adalah penutupan TWA selama dua bulan (Januari-Maret 2025) oleh BKSDA untuk pemulihan ekosistem dan pembersihan sampah besar-besaran. Taman wisata ini dibuka kembali pada akhir Maret 2025, tepat waktu untuk menyambut periode libur pasca-Lebaran. Sebuah forum ekonomi yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia pada Juli 2025, menggunakan nama "BUKIT KABA 2025" untuk membranding diskusi tentang potensi ekonomi regional, menghubungkan pariwisata dengan sektor lain seperti kopi. Ini menandakan adanya minat tingkat tinggi dari pemerintah untuk memanfaatkan citra kawasan ini untuk pembangunan yang lebih luas. Laporan-laporan menunjukkan bahwa situs ini tetap menjadi tujuan populer, dengan ratusan pendaki yang berkunjung, terutama selama hari libur.

Kesimpulan dan Rekomendasi Strategis: Menuju Masa Depan Ekowisata Berkelanjutan

Analisis menunjukkan bahwa Bukit Kaba adalah sebuah destinasi yang didefinisikan oleh serangkaian dualitas yang kontras: aset dan bahaya (gunung berapi aktif), aksesibilitas dan kerentanan (popularitas vs. degradasi lingkungan), pelestarian dan pemanfaatan (pergeseran status konservasi), serta manfaat komunitas dan beban komunitas (Pokdarwis sebagai penerima manfaat dan pembersih sampah).


Untuk memastikan integritas ekologis dan budaya jangka panjang Bukit Kaba sambil meningkatkan nilainya sebagai destinasi ekowisata unggulan, beberapa rekomendasi strategis diajukan:

  1. Menerapkan Program Edukasi dan Penegakan "Bawa Sampahmu Pulang": Berdasarkan isu sampah yang kritis, pendekatan pasif tidak lagi memadai. Perlu diterapkan program wajib di mana sampah pengunjung diinventarisasi atau ditimbang saat masuk dan diperiksa saat keluar, dengan denda bagi yang tidak mematuhi. Ini harus dipadukan dengan pengarahan wajib sebelum mendaki oleh Pokdarwis mengenai prinsip-prinsip "leave no trace".

  2. Mengembangkan Sistem Akses dan Harga Bertingkat: Untuk mengelola dampak dari aksesibilitas, pertimbangkan sistem bertingkat. Sistem ojek yang ada dapat diformalkan dengan tarif yang lebih tinggi, di mana sebagian pendapatan dialokasikan untuk "Dana Restorasi Jalur dan Ekosistem." Ini akan menginternalisasi biaya lingkungan dari sebuah kemudahan.

  3. Meningkatkan Pengalaman Budaya dan Edukasi: Manfaatkan kekayaan mitologi dengan mengintegrasikannya ke dalam pengalaman pengunjung. Pemandu dari Pokdarwis dapat dilatih tidak hanya dalam hal keselamatan tetapi juga dalam seni bercerita, membagikan legenda Muning Raib dan sifat sakral gunung. Ini menambah nilai di luar pemandangan fisik dan dapat menumbuhkan rasa hormat yang lebih besar terhadap situs tersebut.

  4. Memperkuat Pengelolaan Bersama BKSDA-Pokdarwis: Kemitraan yang ada adalah sebuah kekuatan dan harus diformalkan dengan perjanjian yang jelas tentang pembagian pendapatan, reinvestasi pada fasilitas, dan tanggung jawab bersama untuk penegakan aturan. BKSDA harus menyediakan lebih banyak sumber daya dan pelatihan kepada Pokdarwis untuk infrastruktur pengelolaan sampah (misalnya, stasiun pemilahan di pos pendakian) dan edukasi pengunjung.

  5. Pemantauan Ekologis Jangka Panjang: Mengingat sejarah perambahan dan tekanan dari pariwisata, sebuah program pemantauan jangka panjang yang formal untuk indikator keanekaragaman hayati utama (misalnya, populasi siamang, keragaman anggrek, kualitas air) harus dibentuk untuk memberikan umpan balik berbasis data bagi keputusan manajemen.

Bukit Kaba berada di persimpangan jalan yang kritis. Keindahan alamnya yang luar biasa, kedalaman budayanya, dan aksesibilitasnya menjadikannya aset vital bagi Bengkulu. Namun, kualitas yang sama, jika tidak dikelola dengan baik, mengancam integritas jangka panjangnya. Keberhasilan Bukit Kaba di masa depan sebagai destinasi ekowisata berkelanjutan akan bergantung pada kemampuan para pemangku kepentingannya—BKSDA, Pokdarwis, dan para pengunjung itu sendiri—untuk menavigasi kontras-kontras yang melekat ini dan menerapkan strategi manajemen yang memprioritaskan kesehatan ekologis dan penghormatan budaya di samping manfaat ekonomi.

Label Postingan
Kategori Lainnya
Edukasi Lainnya
Sektor Lainnya
0 Comments