BENGKULU, caribengkulu.com– Setiap arak-arakan Tabot yang megah di jalanan Kota Bengkulu adalah puncak dari sebuah perjalanan sejarah yang membentang ribuan kilometer dan memakan waktu berabad-abad. Berbagai sumber akademis dan catatan sejarah melukiskan jejak panjang bagaimana tradisi untuk mengenang Imam Husein ini bisa sampai dan mengakar kuat di Bumi Rafflesia.
Perjalanan ini, menurut peneliti Rizqi Handayani dalam jurnalnya, dimulai dari Irak, tempat tragedi Karbala terjadi. Tradisi berkabung ini kemudian menyebar ke wilayah Persia (kini Iran) dan Asia Selatan, dibawa oleh para penganut Islam Syiah. Salah satu pusat perkembangannya adalah di Punjab, sebuah wilayah yang kini terbagi antara India dan Pakistan.
Lantas, bagaimana ia bisa sampai ke Bengkulu? Sejarah mencatat dua jalur utama yang saling berkaitan:
1. Jalur Para Zuriat (Keturunan Nabi)
Menurut keyakinan Keluarga Kerukunan Tabot (KKT), gelombang pertama pembawa tradisi ini adalah para pelaut ulung dari Punjab yang merupakan Zuriat atau keturunan Nabi Muhammad. Di bawah pimpinan Imam Maulana Ichsad, mereka tiba di Bandar Sungai Serut, Bengkulu, pada tahun 1336 Masehi. Meskipun tidak begitu populer pada awalnya, mereka menanamkan benih pertama dari tradisi ini.
2. Jalur Para Pekerja Sipai (Sepoy)
Jalur kedua, yang tercatat lebih jelas dalam sejarah kolonial, terjadi pada abad ke-17 dan ke-18. Perusahaan Hindia Timur Inggris (English East India Company) mendatangkan para pekerja dan tentara dari Madras dan Bengali di India Selatan untuk membangun megaproyek Benteng Marlborough (Fort Marlborough).
Para pekerja yang dikenal sebagai "Sipai" atau "Sepoy" ini mayoritas adalah Muslim Syiah yang taat. Merekalah yang kemudian secara rutin menggelar upacara berkabung—yang di tanah asal mereka dikenal sebagai Takziyah—di lingkungan mereka di sekitar benteng. "Jadi, para pekerja itu ada orang pertama yang menggelar festival Tabot tersebut di Bengkulu," tulis Handayani.
Peleburan dan Pelestarian oleh Imam Senggolo
Seiring waktu, banyak dari para Sipai ini memilih untuk menetap, menikah dengan penduduk lokal, dan membentuk komunitas yang dikenal sebagai "bangsa Sipai". Tradisi yang mereka bawa kemudian berakulturasi dengan budaya Melayu Bengkulu.
Di sinilah peran tokoh legendaris, Syekh Burhanuddin atau Imam Senggolo, menjadi sangat vital. Hidup pada era kolonial Inggris (sekitar tahun 1685), beliaulah yang diyakini mempopulerkan, melembagakan, dan mewariskan upacara Tabot kepada keturunannya. Keturunan Imam Senggolo inilah yang hingga kini menjadi penjaga utama sakralitas ritual Tabot.
Dari sebuah tradisi berkabung yang dibawa para musafir dan pekerja dari seberang lautan, Tabot telah melalui perjalanan panjang, beradaptasi, dan melebur dengan kearifan lokal hingga menjadi ikon yang tak terpisahkan dari identitas Bengkulu.
0 Comments