BENGKULU, Caribengkulu.com – Berdiri kokoh menjulang di pesisir Kota Bengkulu, Benteng Marlborough bukan sekadar tumpukan batu bata tua. Ia adalah sebuah monumen hidup yang merekam jejak panjang kolonialisme, perjuangan, dan transformasi budaya di Nusantara. Dari cikal bakal pendiriannya oleh Kongsi Dagang Inggris (East India Company/EIC) pada awal abad ke-18 hingga statusnya sebagai cagar budaya nasional yang menjadi denyut nadi pariwisata, pendidikan, dan kebudayaan, Benteng Marlborough menyimpan ribuan cerita yang menanti untuk disingkap. Tinjauan komprehensif ini akan mengulas genesis, anatomi arsitektur, kronik peralihan kekuasaan, transformasi pasca-kemerdekaan, hingga perannya di era modern, serta mitos dan legenda yang menyelimutinya.
Genesis Benteng Kolonial di Pesisir Sumatra: Dari Kebutuhan Lada Hingga Ambisi Kekuasaan
Pada pengujung abad ke-17 dan awal abad ke-18, Samudra Hindia menjadi medan pertempuran sengit bagi kekuatan-kekuatan Eropa yang memperebutkan rempah-rempah. Bengkulu, yang kala itu dikenal luas sebagai produsen lada berkualitas tinggi, secara alami menjadi titik fokus kepentingan komersial dan politik. Bagi East India Company (EIC), kehadiran di Bengkulu menjadi semakin krusial setelah mereka mengalami kekalahan strategis yang memilukan dari Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) Belanda di Banten. Kekalahan ini memaksa EIC untuk mencari basis kekuatan baru yang aman di Asia Tenggara, dan Bengkulu, dengan kekayaan ladanya, muncul sebagai pilihan strategis mereka. Penempatan diri di sini bukan hanya tentang pos dagang, melainkan pembentukan pangkalan militer dan komersial yang vital untuk menjaga pengaruh Inggris di kawasan tersebut.
Sebelum kemegahan Benteng Marlborough berdiri, upaya pertama Inggris untuk menancapkan kuku di Bengkulu adalah melalui pembangunan Benteng York sekitar tahun 1685. Namun, Benteng York adalah sebuah kesalahan perencanaan yang mahal. Lokasinya di tepi Sungai Bengkulu terbukti tidak strategis, sangat rentan terhadap serangan, dan yang lebih parah, area tersebut merupakan sarang nyamuk malaria. Kondisi lingkungan yang tidak sehat ini menyebabkan tingginya angka kematian di antara serdadu dan pejabat Inggris, sehingga Benteng York akhirnya ditinggalkan.
Kegagalan Benteng York menjadi pelajaran berharga bagi EIC. Pembangunan Benteng Marlborough bukanlah sekadar proyek ekspansi kolonial biasa; ia adalah sebuah manuver strategis yang diperhitungkan dengan cermat, lahir dari kekalahan komersial dan kegagalan logistik yang menyakitkan. Pengalaman buruk dengan Benteng York menegaskan bahwa pemilihan lokasi dan desain benteng harus memprioritaskan pertahanan dan kesehatan personel. Oleh karena itu, ketika Gubernur Joseph Collet memulai pembangunan benteng baru pada tahun 1714, proyek ini dirancang sebagai koreksi total atas kesalahan masa lalu. Benteng Marlborough sengaja dibangun lebih besar, lebih kuat, dan di lokasi yang jauh lebih unggul, mencerminkan pergeseran dari sekadar pijakan tentatif menjadi sebuah penegasan kekuasaan permanen yang dirancang untuk bertahan dari ancaman rival Eropa maupun tantangan lingkungan setempat.
Anatomi Arsitektur: Sebuah Kura-kura Batu yang Tak Tergoyahkan (1714-1719)
Benteng Marlborough merupakan mahakarya arsitektur militer pada zamannya, dibangun antara tahun 1714 hingga 1719. Jika dilihat dari udara, keseluruhan kompleks benteng ini memunculkan siluet yang unik, menyerupai bentuk kura-kura, sebuah simbol pertahanan dan ketahanan yang kuat. Bagian depan bangunan yang berfungsi sebagai gerbang utama diibaratkan sebagai kepala kura-kura yang menghadap ke arah barat daya, sementara sebuah jembatan gantung di bagian belakangnya membentuk "ekor" benteng.
Inti dari desainnya adalah denah persegi panjang yang diperkuat dengan empat bastion atau selekoh pertahanan berbentuk mata panah di setiap sudutnya. Desain ini adalah ciri khas arsitektur militer Eropa modern abad ke-18, dirancang khusus untuk menghilangkan titik buta dan memaksimalkan cakupan tembakan artileri. Pintu masuk utama ke benteng juga dilindungi dengan cermat oleh sebuah ravelin, yaitu benteng luar berbentuk segitiga yang terpisah dari bangunan utama, menunjukkan pemahaman mendalam tentang prinsip-prinsip pertahanan berlapis.
Secara struktural, benteng ini dibangun di atas sebuah bukit buatan, memberikannya posisi komando yang dominan dengan pemandangan langsung ke arah kota dan Samudra Hindia. Dindingnya yang masif dibangun dari batu bata, dengan ketebalan yang bervariasi antara 50 hingga 180 sentimeter dan ketinggian mencapai 8,5 hingga 8,65 meter. Salah satu bukti paling menakjubkan dari kualitas konstruksinya adalah ketahanannya yang luar biasa terhadap guncangan gempa bumi besar. Benteng ini terbukti mampu bertahan dari gempa Enggano berkekuatan 7.9 skala magnitudo pada tahun 2000 tanpa mengalami kerusakan berarti. Ketangguhan ini mengindikasikan kualitas pengerjaan yang istimewa, yang menurut beberapa catatan melibatkan arsitek yang didatangkan langsung dari India, salah satu koloni utama Inggris pada masa itu. Di sekeliling benteng, terdapat parit kering (saat ini) yang mengikuti denah benteng dan dihubungkan oleh sebuah jembatan kayu yang melintasi parit menuju gerbang utama.
Di dalam kompleks benteng, terdapat bangunan-bangunan panjang dengan fungsi yang beragam, termasuk barak tentara, penjara, kantor administrasi, dan gudang mesiu (powder magazine) untuk menyimpan amunisi. Untuk menegaskan fungsi militernya, benteng ini dipersenjatai dengan 72 pucuk meriam yang ditempatkan di sepanjang dinding dan bastion. Sebagian besar meriam bersejarah ini masih dapat dijumpai di lokasi hingga hari ini, menjadi saksi bisu kekuatan militer benteng pada masanya.
Arsitektur Benteng Marlborough lebih dari sekadar struktur fungsional; ia adalah sebuah pernyataan imperial. Pengadopsian sistem pertahanan bastion dan ravelin merupakan puncak teknologi militer Eropa saat itu, menjadikannya salah satu benteng terkuat Inggris di Asia, kedua setelah Benteng St. George di Madras, India. Pembangunannya di atas bukit buatan dengan dinding yang begitu tebal dan tinggi adalah pilihan sadar untuk memproyeksikan citra kekuatan yang tak tergoyahkan dan dominasi atas lanskap sekitarnya. Kemampuannya bertahan dari bencana alam dahsyat membuktikan bahwa benteng ini dibangun untuk bertahan selamanya, sebuah manifestasi fisik dari ambisi imperial jangka panjang.
Kronik Peralihan Kekuasaan dan Fungsi: Benteng yang Diperebutkan
Didirikan oleh EIC di bawah pimpinan Gubernur Joseph Collet, benteng ini dinamai untuk menghormati Jenderal Inggris terkemuka, John Churchill, Duke of Marlborough pertama. Selama periode kekuasaan Inggris (1714–1824), Benteng Marlborough berfungsi sebagai pusat saraf kekuasaan kolonial di Sumatra. Fungsinya sangat beragam, mencakup basis pertahanan militer, pusat administrasi EIC, kompleks perumahan bagi para pejabat (tercatat menampung 90 personel sipil dan militer pada tahun 1792), dan gudang penyimpanan rempah-rempah.
Namun, keberadaannya tidak pernah lepas dari kekerasan dan perlawanan sengit dari masyarakat lokal. Sejarah mencatat serangkaian peristiwa berdarah:
1719: Tak lama setelah fase pertama pembangunannya selesai, benteng ini diserang dan dibakar oleh rakyat Bengkulu, memaksa Inggris untuk sementara waktu mengungsi ke Madras, India, menyoroti besarnya resistensi lokal.
1760: Selama Perang Tujuh Tahun, benteng ini sempat direbut oleh skuadron Prancis, menunjukkan keterlibatannya dalam percaturan politik dunia yang lebih luas.
1793 & 1807: Serangan lanjutan dari penduduk lokal mengakibatkan tewasnya seorang perwira Inggris, Robert Hamilton, dan seorang Residen bernama Thomas Parr. Monumen untuk mengenang keduanya didirikan, dengan monumen Parr masih berdiri kokoh hingga kini di dekat benteng, menjadi pengingat abadi akan sejarah kekerasan.
Titik balik signifikan terjadi pada tahun 1824, melalui Traktat London (Perjanjian Anglo-Belanda). Benteng Marlborough beserta seluruh wilayah Bengkulu diserahkan kepada Belanda. Sebagai gantinya, Inggris memperoleh Malaka dan mengamankan kepentingannya di Singapura. Di bawah kendali Belanda (1824–1942), fungsi benteng berubah fundamental. Ia tidak lagi menjadi benteng pertahanan utama, melainkan dialihfungsikan menjadi markas Polisi Belanda dan barak militer.
Sejarah benteng terus bergulir seiring perubahan kekuasaan di Nusantara. Selama pendudukan Jepang (1942-1945), benteng ini kembali difungsikan sebagai basis pertahanan militer oleh tentara Jepang. Setelah proklamasi kemerdekaan, pada masa Revolusi Nasional Indonesia, benteng ini sempat menjadi markas Kepolisian Republik Indonesia, namun sempat diduduki kembali oleh Belanda sebelum akhirnya diserahkan kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI) setelah pengakuan kedaulatan pada tahun 1950. Sejarah kepemilikan dan fungsi Benteng Marlborough ini dapat dibaca sebagai barometer yang akurat untuk mengukur pergeseran geopolitik besar di Asia Tenggara, dari kolonialisme Eropa hingga perjuangan menuju kedaulatan Indonesia.
Transformasi Pasca-Kemerdekaan: Dari Pangkalan Militer menjadi Harta Nasional
Setelah tahun 1950, Benteng Marlborough tetap berada di bawah kendali militer dan digunakan sebagai markas oleh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD). Titik balik yang menentukan terjadi pada tahun 1977, ketika benteng ini secara resmi diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (kini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi) untuk dipugar dan dialihfungsikan sebagai situs warisan budaya dan museum. Momen ini menandai transformasi simbolisnya, dari alat kekuasaan asing dan militer menjadi objek kebanggaan budaya nasional. Statusnya semakin dikukuhkan pada tahun 2004, ketika pemerintah secara resmi menetapkannya sebagai Benda Cagar Budaya peringkat nasional, yang memberikannya perlindungan hukum penuh.
Upaya pemugaran telah dimulai sejak tahun 1977 dan terus berlanjut hingga kini, dikelola oleh lembaga seperti Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi dan sekarang Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah VII. Tantangan konservasi yang dihadapi cukup beragam, termasuk mengatasi pelapukan dan kerusakan akibat kelembapan yang disebabkan oleh rembesan air dari atap. Masalah ini memerlukan pekerjaan ekskavasi atau penggalian yang cermat di bagian bastion untuk memperbaiki sistem drainase. Upaya restorasi yang lebih baru berfokus pada pemeliharaan estetika dan struktural, seperti perbaikan lantai granit, kusen pintu dan jendela, serta rangka atap, dengan tetap mempertahankan bentuk asli bangunan.
Pada tahun 2024, pemerintah mengalokasikan anggaran signifikan sebesar Rp 2 miliar untuk pemeliharaan benteng. Anggaran ini terbagi untuk pekerjaan pengecatan ulang (Rp 800 juta) dan, yang paling menonjol, pembangunan pagar di sekeliling kawasan benteng (Rp 1,2 miliar). Dorongan utama di balik pembangunan pagar ini adalah untuk kontrol sosial. Tujuannya adalah untuk mencegah area benteng disalahgunakan untuk "aktivitas negatif" seperti tempat berpacaran yang tidak pantas, mabuk-mabukan, dan potensi transaksi narkoba, sekaligus untuk meningkatkan keamanan dan kebersihan secara keseluruhan.
Upaya konservasi modern terhadap Benteng Marlborough menunjukkan bahwa definisi "pelestarian" telah berevolusi. Jika pada awalnya fokusnya adalah pada aspek teknis dan arsitektural, kini ia telah berkembang menjadi sebuah tantangan sosio-manajerial yang kompleks. Keputusan untuk membangun pagar pada tahun 2024 mengilustrasikan adanya ketegangan fundamental antara mempertahankan keaslian historis sebuah situs dan mengelola realitas praktis sebagai ruang publik di era kontemporer. Hal ini menunjukkan bahwa bagi pengelola cagar budaya saat ini, melestarikan benteng berarti melindunginya tidak hanya dari elemen alam, tetapi juga dari masalah-masalah sosial, yang memaksa mereka mengambil respons pragmatis meskipun mungkin terasa mengganggu secara arsitektural.
Benteng Marlborough di Era Modern: Pusat Pariwisata, Pendidikan, dan Kebudayaan
Benteng Marlborough kini menjadi salah satu destinasi wisata andalan dan ikon sejarah Provinsi Bengkulu. Kunjungan wisatawan menunjukkan angka yang signifikan, terutama pada musim liburan. Sebagai contoh, selama libur Lebaran tahun 2024, benteng ini dikunjungi oleh 6.700 orang, menunjukkan popularitasnya yang terus meningkat. Pada hari-hari biasa, jumlah pengunjung dapat berkisar antara 200 hingga 500 orang per hari.
Sebuah studi akademis mengenai kepuasan pengunjung memberikan peringkat "memuaskan" secara keseluruhan terhadap pengalaman wisata di benteng ini. Studi tersebut menemukan bahwa aspek 'Daya Tanggap' (Responsiveness) dan 'Jaminan' (Assurance) dari para petugas menjadi pendorong utama kepuasan. Namun, aspek 'Bukti Fisik' (Tangibles) seperti fasilitas fisik dan 'Keandalan' (Reliability) dinilai tidak berpengaruh signifikan. Hal ini mengindikasikan adanya kesenjangan antara kualitas interaksi manusia yang baik dan kondisi infrastruktur fisik yang mungkin belum optimal. Laporan lain juga menyoroti perlunya peningkatan fasilitas penunjang dan promosi yang lebih konsisten untuk menarik lebih banyak wisatawan. Dari sisi ekonomi, pariwisata di benteng ini memberikan peluang bagi masyarakat sekitar, seperti para pedagang makanan dan penjual cenderamata. Namun, potensi penuhnya dilaporkan masih terhambat oleh kurangnya investasi dari pihak swasta dan infrastruktur pendukung yang memadai.
Selain sebagai destinasi wisata, Benteng Marlborough juga memainkan peran vital sebagai sumber belajar sejarah. Ia berfungsi sebagai tujuan "wisata edukasi" bagi semua tingkatan pendidikan, dari kunjungan lapangan taman kanak-kanak hingga menjadi sumber data primer untuk penelitian mahasiswa dan akademisi. Fungsi utamanya adalah menyediakan platform bagi pengunjung untuk terlibat secara fisik dengan sejarah dan memahami narasi masa lalu Bengkulu secara langsung.
Jauh dari sekadar monumen statis, Benteng Marlborough telah bertransformasi menjadi panggung yang dinamis untuk berbagai acara kebudayaan dan kenegaraan. Tempat ini secara rutin menjadi lokasi penyelenggaraan lomba seni untuk pelajar, pertunjukan teknologi modern seperti festival video mapping yang menceritakan sejarah benteng, tur warisan budaya yang diorganisir oleh berbagai komunitas dan lembaga, serta upacara peringatan hari besar nasional. Hal ini menunjukkan keberhasilan integrasi benteng ke dalam kehidupan budaya kontemporer kota Bengkulu.
Identitas modern Benteng Marlborough adalah perpaduan sukses antara pariwisata, pendidikan, dan kebudayaan. Namun, model pengembangannya masih belum lengkap. Meskipun unggul sebagai penanda budaya dan simbol sejarah, potensinya sebagai destinasi wisata warisan budaya kelas dunia yang dikelola secara berkelanjutan masih terkendala oleh beberapa celah yang dapat diidentifikasi. Model saat ini masih sangat bergantung pada bobot sejarahnya, bukan pada penyediaan pengalaman pengunjung kelas dunia.
Benteng Tak Kasat Mata: Mitos, Legenda, dan Narasi Lokal
Selain sejarah resminya, Benteng Marlborough juga diselimuti oleh berbagai cerita mistis dan legenda lokal yang menambah lapisan misteri pada narasinya. Di antara kisah-kisah yang paling terkenal adalah penampakan sosok perempuan Eropa berpakaian putih yang sering muncul menjelang waktu magrib. Ada pula legenda tentang seorang tahanan yang, dalam keputusasaannya, menuliskan kisah pilunya di dinding sel menggunakan darahnya sendiri hingga ia meninggal dunia.
Mitos yang paling mengakar dan tersebar luas adalah tentang keberadaan sebuah terowongan bawah tanah rahasia. Menurut cerita rakyat, terowongan ini dibangun sebagai jalur pelarian darurat bagi tentara Inggris jika benteng terkepung. Legenda ini berkembang lebih jauh dengan klaim bahwa terowongan tersebut sangat panjang dan memiliki beberapa cabang yang tembus hingga ke Pantai Panjang, Pantai Tapak Paderi, dan bahkan Istana Gubernur. Seiring berjalannya waktu, konon terowongan ini runtuh atau tertimbun tanah, dan yang tersisa saat ini hanyalah sebuah lorong pendek sepanjang sekitar 6 meter yang dapat dilihat oleh pengunjung.
Keberadaan terowongan rahasia yang luas ini sangat diragukan kebenarannya dari sudut pandang sejarah dan teknis. Seorang pemerhati sejarah bahkan menyatakan bahwa pembangunan terowongan semacam itu pada masa tersebut adalah sesuatu yang "mustahil". Hal ini menciptakan dikotomi menarik antara kepercayaan populer dan pendapat ahli, sebuah fenomena yang lazim ditemukan di banyak situs bersejarah. Penting untuk membedakan legenda ini dari proyek terowongan modern terpisah di dekatnya yang pernah dirumorkan sebagai upaya pencarian harta karun.
Legenda terowongan rahasia, terlepas dari kebenarannya, menjalankan fungsi budaya yang sangat penting. Ia mengubah benteng dari sekadar monumen sejarah yang statis menjadi sebuah situs yang dinamis, penuh misteri, dan memancing imajinasi. Hal ini secara signifikan meningkatkan daya tarik populernya dan menanamkannya lebih dalam ke dalam cerita rakyat dan memori kolektif masyarakat Bengkulu. Kekuatan legenda ini tidak terletak pada pembuktiannya, melainkan pada persistensinya. Ia menawarkan cara keterlibatan yang berbeda bagi pengunjung, mengundang mereka untuk berspekulasi dan merasakan nuansa petualangan yang mungkin tidak ditawarkan oleh tur yang murni faktual. Dengan demikian, cerita rakyat bukanlah catatan kaki yang keliru dalam sejarah benteng, melainkan lapisan esensial dari warisan hidupnya, yang menunjukkan bagaimana sebuah komunitas terus berinteraksi, menafsirkan, dan menambahkan makna baru pada sebuah ruang bersejarah.
Kesimpulan dan Rekomendasi Strategis untuk Masa Depan Benteng Marlborough
Benteng Marlborough telah menelusuri perjalanan panjang, dari konsepsinya sebagai simbol ambisi imperial Inggris dan pion dalam permainan geopolitik, hingga statusnya saat ini sebagai cagar budaya nasional yang dilindungi, pusat pendidikan, dan ikon ketahanan serta keunikan sejarah Bengkulu. Ia adalah saksi bisu peralihan kekuasaan dari Inggris ke Belanda, pendudukan Jepang, perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan akhirnya, transformasinya menjadi milik bangsa. Kekuatan arsitekturnya yang luar biasa dan sejarahnya yang kompleks menjadikannya aset warisan budaya yang tak ternilai.
Namun, di era modern, pengelolaan Benteng Marlborough dihadapkan pada beberapa tantangan utama:
Ketegangan antara Pelestarian dan Akses Publik: Dilema ini paling jelas terlihat dari kebutuhan untuk membangun pagar keamanan, yang menyoroti konflik antara menjaga keaslian situs dan mengelola perilaku pengunjung.
Kesenjangan Pengalaman Pengunjung: Terdapat disparitas antara kualitas layanan sumber daya manusia yang dinilai baik dan fasilitas fisik serta amenitas pendukung yang dianggap kurang memadai, seperti yang diidentifikasi dalam studi kepuasan.
Potensi yang Belum Tergarap Maksimal: Kegagalan untuk memanfaatkan aset benteng secara penuh untuk pariwisata berkelanjutan dan manfaat ekonomi yang lebih besar, disebabkan oleh promosi yang tidak konsisten dan kurangnya investasi dari pihak swasta.
Berdasarkan temuan-temuan di atas, berikut adalah beberapa rekomendasi strategis untuk optimalisasi pengelolaan Benteng Marlborough:
Mengadopsi Rencana Pengelolaan Warisan Terpadu: Pengelola harus beralih dari solusi reaktif (seperti membangun pagar) ke strategi proaktif dan holistik. Rencana ini harus menyeimbangkan ilmu konservasi, kebutuhan keamanan, pengembangan pariwisata, program edukasi, dan keterlibatan masyarakat secara terintegrasi. Ini akan memastikan bahwa setiap intervensi mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap integritas historis dan pengalaman pengunjung.
Meningkatkan Pengalaman Interpretatif Pengunjung: Perlu adanya investasi signifikan pada aspek 'Bukti Fisik' (Tangibles) yang teridentifikasi lemah. Ini termasuk pengembangan konten interpretatif yang modern dan menarik, seperti diorama, panduan digital interaktif (misalnya, aplikasi seluler dengan fitur Augmented Reality), dan papan informasi yang lebih baik dan multi-bahasa untuk menceritakan kisah kompleks benteng secara lebih efektif dan mendalam.
Merangkul dan Mengurasi Cerita Rakyat: Alih-alih mengabaikan mitos yang ada, pengelola sebaiknya secara resmi memasukkannya ke dalam pengalaman pengunjung. Sebuah pameran atau bagian dari tur dapat didedikasikan untuk "Legenda Marlborough," yang menyajikan cerita rakyat berdampingan dengan fakta sejarah. Pendekatan ini akan melibatkan pengunjung pada level intelektual sekaligus imajinatif, menambah dimensi unik pada kunjungan mereka.
Mendorong Kemitraan Publik-Swasta yang Berkelanjutan: Secara aktif mencari investasi dari sektor swasta untuk mengembangkan program budaya berkualitas yang diadakan secara rutin dan kampanye pemasaran profesional yang lebih luas. Ini akan menciptakan model yang lebih dinamis dan mandiri secara finansial, memastikan ekonomi lokal dapat merasakan manfaat yang lebih besar dari keberadaan benteng ini melalui peningkatan lapangan kerja dan peluang usaha bagi masyarakat sekitar.
Benteng Marlborough adalah permata sejarah yang tak ternilai bagi Bengkulu dan Indonesia. Dengan pengelolaan yang proaktif, terintegrasi, dan inovatif, ia tidak hanya akan terus bertahan sebagai saksi bisu masa lalu, tetapi juga berkembang sebagai suar budaya, pendidikan, dan pariwisata yang menarik di masa depan.
0 Comments