Sub-judul: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa resmi memasukkan RUU Redenominasi dalam Rencana Strategis 2025-2029. Masyarakat diimbau tidak panik, ini beda jauh dengan pemotongan nilai uang.
BENGKULU, caribengkulu.com – Halo Adik sanak sahabat cari bengkulu! Ada kabar heboh terbaru dari Jakarta yang wajib kita pahami bersama. Wacana lama yang sempat tenggelam, kini dihidupkan kembali oleh pemerintah: penyederhanaan mata uang Rupiah, atau yang kerennya disebut redenominasi.
Sederhananya, pemerintah berencana memangkas tiga angka nol di mata uang kita. Jadi, uang Rp 1.000 (seribu rupiah) yang ada di dompet kita nanti nilainya akan menjadi Rp 1 (satu rupiah).
Jangan kaget atau panik dulu, Adik sanak. Ini bukan berarti nilai uang kita dipotong.
Rencana serius ini dikonfirmasi langsung oleh Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa. Tidak main-main, rencana ini telah resmi dimasukkan ke dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Keuangan untuk periode 2025-2029. Landasan hukumnya pun sudah disiapkan, yakni melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 yang terbit 10 Oktober lalu.
Lalu, apa sebenarnya redenominasi itu? Kenapa penting? Dan yang paling bikin penasaran, kapan ini akan berlaku? Mari kita bedah tuntas.
Ini Redenominasi, Bukan Sanering!
Hal pertama dan paling penting untuk dipahami Adik sanak adalah perbedaan antara Redenominasi dan Sanering. Banyak yang masih trauma dengan istilah "pemotongan uang" seperti zaman dulu.
Biar jelas, ini bedanya:
Sanering (Pemotongan Nilai): Ini adalah pemotongan nilai mata uang secara paksa, biasanya karena negara mengalami hiperinflasi (inflasi gila-gilaan). Nilai uangnya dipotong, tapi harga barang tidak ikut turun. Ini merugikan rakyat. Contohnya terjadi di Indonesia tahun 1965.
Redenominasi (Penyederhanaan): Ini adalah penyederhanaan angka nol tanpa mengubah nilai beli uang tersebut. Nilai uang dan harga barang sama-sama disederhanakan.
Contoh Sederhana: Jika Adik sanak hari ini membeli seporsi pempek di Simpang Lima Bengkulu seharga Rp 20.000 dengan membawa selembar uang merah Rp 100.000, kembaliannya adalah Rp 80.000.
Jika redenominasi berlaku, harganya akan ditulis Rp 20. Adik sanak membayar dengan uang baru (misal) Rp 100, dan kembaliannya adalah Rp 80.
Intinya, daya beli uang Adik sanak tetap sama. Yang berubah hanya cara penulisan angkanya agar lebih ringkas.
Kenapa Rupiah Perlu Diredenominasi?
Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) memandang wacana ini penting karena beberapa alasan strategis.
1. Efisiensi dan Kepraktisan Jujur saja, Adik sanak, kita sering pusing melihat angka nol yang terlalu banyak. Dalam sistem akuntansi, perbankan, dan bahkan mesin kasir, deretan angka nol ini memakan tempat dan berpotensi menimbulkan kesalahan input data. Dengan redenominasi, pencatatan keuangan akan jauh lebih sederhana dan efisien.
2. Kredibilitas dan "Gengsi" Mata Uang Secara psikologis, mata uang dengan nominal besar sering dianggap "lemah" di kancah internasional. Dibandingkan dengan Dolar AS ($1) atau Euro (€1), nominal Rupiah kita (sekitar Rp 16.000-an per Dolar) terlihat sangat jomplang. Dengan menjadi Rp 16 per Dolar (misalnya), Rupiah akan terlihat lebih "berwibawa" dan setara dengan mata uang negara maju lainnya.
3. Mendukung Era Digital Di zaman transaksi digital yang serba cepat, penyederhanaan digit akan memperlancar proses di sistem pembayaran teknologi finansial (fintech), perbankan digital, dan ATM. Transaksi bisa diproses lebih cepat karena sistem komputernya tidak perlu mengolah terlalu banyak digit.
Jadi, Kapan Ini Akan Berlaku? Jangan Buru-buru!
Nah, ini yang penting. Adik sanak tidak perlu buru-buru menukar uang atau panik. Proses redenominasi adalah "proyek maraton", bukan "sprint".
Wacana ini sebenarnya sudah ada sejak era Menteri Keuangan Sri Mulyani, namun terhenti karena guncangan pandemi Covid-19. Kini, Menkeu Purbaya melanjutkannya.
Berdasarkan Renstra Kemenkeu, targetnya adalah menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi yang diharapkan bisa rampung atau disahkan pada tahun 2027.
Setelah UU-nya disahkan pun, prosesnya masih sangat panjang. Menurut perkiraan para ekonom, total proses transisi bisa memakan waktu 8 hingga 11 tahun, yang dibagi dalam beberapa tahap:
Tahap Persiapan: Sosialisasi besar-besaran ke seluruh lapisan masyarakat (ini yang sedang dimulai).
Tahap Transisi (Paling Krusial): Selama beberapa tahun, akan ada dua jenis uang yang beredar: uang lama (misal Rp 100.000) dan uang baru (misal Rp 100). Harga barang di toko-toko juga wajib mencantumkan dua label harga (misal: Kopi Rp 20.000 / Rp 20).
Tahap Penarikan: Bank Indonesia secara perlahan akan menarik uang lama dari peredaran.
Tahap Penuh: Hanya uang baru yang berlaku di Indonesia.
Syarat utama agar rencana ini sukses adalah kondisi ekonomi yang stabil, inflasi rendah dan terkendali, serta nilai tukar Rupiah yang tidak bergejolak.
Jadi, kesimpulannya, rencana ini adalah langkah jangka panjang untuk membuat sistem keuangan Indonesia lebih efisien dan kredibel. Bagi kita di Bengkulu, yang terpenting saat ini adalah memahami bahwa ini bukan pemotongan nilai uang, melainkan penyederhanaan agar lebih praktis.
Bagaimana pendapat Adik sanak? Siapkah kita menyambut "wajah baru" Rupiah yang lebih ringkas di masa depan?



0 Comments