BENGKULU, caribengkulu.com – Gempita rencana Festival Tabut 2025 yang akan digelar megah di Sport Center Pantai Panjang menyisakan riak-riak pertanyaan dari jantung tradisi itu sendiri: para keluarga pelaksana ritual. Di satu sisi, ada dukungan terhadap kebijakan pemerintah. Di sisi lain, muncul kekhawatiran akan terjaganya sakralitas ritual di tengah tuntutan festival modern dan minimnya alokasi anggaran.
Dua suara utama datang dari Kerukunan Keluarga Tabot (KKT) dan Kerukunan Tabot Budaya (KETAB). KKT, melalui ketuanya Achmad Syafril SY, sempat menyuarakan penolakan keras terhadap pemindahan lokasi pusat kegiatan ritual dari View Tower.
“Kami, 17 keluarga Tabot, menolak keras pemindahan ini. View Tower bukan hanya lokasi, tapi simbol sejarah dan tradisi yang tak bisa dipindahkan begitu saja,” tegas Syafril dalam sebuah konferensi pers pada Jumat (16/5) lalu.
Persoalan krusial lainnya adalah anggaran. KKT menyoroti alokasi dana sebesar Rp90 juta yang dinilai jauh dari kata cukup. “Biaya satu Tabot saja bisa mencapai Rp20 juta. Kalau anggarannya segitu, bagaimana mungkin festival ini bisa berjalan maksimal?” ujarnya, seraya mendorong Pemprov untuk memanfaatkan dana CSR perusahaan di Bengkulu.
Namun, suara berbeda datang dari KETAB. Dalam rapat koordinasi bersama 16 perwakilan keluarga pada Sabtu (17/5), Ketua KETAB Wahyudi menyatakan dukungan penuh terhadap keputusan pemerintah untuk menggelar acara di Sport Center.
"Intinya kami dari 16 Keluarga Besar Kerukunan Tabot Budaya (KETAB) Provinsi Bengkulu mendukung dan siap menyukseskan agenda Pemerintah dalam kegiatan Festival Tabot 2025 di Sport Center," ujar Wahyudi.
Meski mendukung, KETAB juga menyuarakan keprihatinan yang sama terkait anggaran. Koordinator Departi KETAB, Idramsyah, menyebut dana bantuan sebesar Rp50 juta untuk 16 kelompok tabot sangatlah minim. “Kalau dana Rp50 juta yang diberikan kepada kami untuk membangun tabut, terus terang itu sangat minim sekali,” jelas Idramsyah.
Jembatan Dialog dan Harapan
KETAB berharap Gubernur Helmi Hasan dapat mengeluarkan imbauan kepada instansi pemerintah dan perusahaan untuk turut berpartisipasi aktif dalam pembangunan tabot, seperti yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
Polemik ini menunjukkan adanya dilema antara pengembangan festival sebagai atraksi pariwisata massal dan pelestarian ritual yang sarat makna. Pemerintah Provinsi Bengkulu, di sisi lain, tampak berupaya menjembatani kedua kepentingan ini.
Kepala Dinas Pariwisata Murlin Hanizar memastikan bahwa meskipun pusat keramaian pindah, lokasi pelaksanaan ritual sakral akan tetap dipertahankan di tempat semula untuk menghormati tradisi. Selain itu, Ketua KKT Bengkulu dipastikan akan dilibatkan secara intensif agar nilai-nilai sakral dan historis tetap terjaga.
Kisah ini adalah cerminan dari dinamika budaya yang hidup. Festival Tabut bukan hanya tentang arak-arakan megah dan panggung hiburan. Ia adalah tentang negosiasi antara masa lalu dan masa depan, antara spiritualitas dan pariwisata, serta antara pemerintah dan komunitas penjaga tradisi.
Keberhasilan Tabut 2025 pada akhirnya tidak hanya diukur dari jumlah pengunjung atau kemegahan acaranya, tetapi juga dari bagaimana suara hati para penjaga tradisi ini didengar dan bagaimana sakralitas ritual tetap bercahaya di tengah hingar-bingar festival modern.
0 Comments